Friday, December 3, 2010

to live is to choose

Dua hari lalu saya menerima tamu rekanan dari Singapura dan Australia karena perusahaan tempat saya bekerja mengimpor produk-produk onkologi dari negara tersebut. Onkologi adalah produk-produk yang digunakan untuk mengobati penyakit kanker dan merupakan produk dengan high-technology  sehingga perusahaan farmasi di Indonesia belum bisa membuat sendiri dan masih harus mengimpor.  Saat jamuan makan kami bicara banyak hal, bukan hanya melulu bisnis tetapi juga kehidupan di negara masing-masing. Hal yang menarik adalah ketika mereka bercerita bahwa banyak orang Indonesia berada di negara mereka untuk sekolah, bisnis, shopping, ataupun berobat. Karena berbisnis di bidang farmasi, rekan saya dari Singapura bercerita bahwa rumah sakit Singapura menerima banyak sekali pasien dari Indonesia. Begitu juga di akhir pekan, sangat mudah menemukan orang Indonesia di pusat-pusat perbelanjaan di sana. Wah, ternyata banyak juga orang kaya di Indonesia, sampai-sampai berbelanja saja mesti ke negeri tetangga, begitu pemikiran saya. Tetapi sebenarnya itu juga tidak terlepas dari cara Singapura mengelola negerinya sehingga negeri yang tidak punya sumber alam itu mampu menjadi negeri yang kaya raya dan menjadi tujuan wisata. Bandingkan dengan negeri kita yang sangat kaya dengan sumber daya alam dan mineral, pemandangan yang indah, tetapi belum mampu menyokong kehidupan rakyatnya sampai-sampai harus mengimpor TKW untuk bekerja di luar negeri karena negara tidak sanggup menyediakan lapangan kerja untuk mereka.  Hal yang menarik lagi adalah ketika rekan dari Singapura mengatakan bahwa dia tidak peduli kalau dikatakan negaranya tidak ada demokrasi karena yang penting baginya dia merasa sangat aman dan nyaman tinggal di Singapura, semua tercukupi sehingga tidak perlu untuk teriak-teriak ke pemerintah menuntut ini dan itu. Bagi saya ini sangat menarik, meskipun saya tetap menganggap bahwa demokrasi sangat diperlukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi ternyata perasaan “aman dan nyaman, tercukupi” adalah kebutuhan mendasar masyarakat.  Cerita lain berasal dari rekan Australia yang tinggal di Melbourne. Salah satu kekuatan Australia, termasuk Melbourne adalah pendidikan yang menjadi salah satu sumber pendapatan negara tersebut, dan ternyata banyak sekali mahasiswa asal Indonesia yang bersekolah di sana. Wah, sekali lagi saya tertarik, karena bagaimanapun juga bersekolah di luar negeri membutuhkan biaya tidak sedikit dibandingkan sekolah di negeri sendiri dan tentu hanya orang kaya yang mampu melakukannya, kecuali mereka yang menerima beasiswa. Apa yang saya dapatkan dari hasil interaksi tersebut adalah bahwa sebenarnya Indonesia dikaruniai tanah yang subur dan kekayaan alam yang luar biasa, tetapi memang kita sendiri belum maksimal untuk menggarapnya sehingga perasaan “aman, nyaman, tercukupi” belum menjadi milik sebagian besar rakyat negeri ini. Saya sendiri belum pernah ke luar negeri, tetapi saya berharap dalam waktu dekat impian itu menjadi nyata meskipun baru sebatas Asia Tenggara. Tetapi yang penting saya bisa melihat dunia di luar Indonesia sehingga ada perbandingan dengan negeri tercinta ini.  Pengalaman saya lebih didominasi oleh penjelajahan tanah air.  Kota demi kota di Indonesia menyajikan beragam kebudayaan, makanan, dan alam yang sangat bervariasi dari satu kota ke kota lain dan kalau sebentar lagi saya mendapat kesempatan untuk bisa melongok negeri lain, itu semua adalah berkat Tuhan!  Wah, “ndeso” banget yah, but it’s ok, selalu ada yang pertama untuk segala sesuatu. Kalau 7 tahun yang lalu adalah pengalaman pertama saya naik pesawat, dan ternyata kemudian Tuhan memberi saya lebih banyak lagi penerbangan dengan berkeliling Indonesia tahun demi tahun, maka saya percaya, bahwa perjalanan ke luar negeri yang pertama akan menjadi awal perjalanan saya keliling dunia. Hehehe, Amin! May God hear my wish!
Sebenarnya tulisan ini saya buat untuk mengingatkan saya sekali lagi betapa Tuhan itu sangat baik dan saya sungguh bersyukur untuk apa yang Dia berikan kepada saya.  Bekerja di sebuah perusahaan besar dengan fasilitas yang cukup baik menurut saya, mengunjungi kota-kota besar di hampir seluruh Indonesia, kesempatan berinteraksi dengan rekan bisnis dari beberapa negara yang memungkinkan saya untuk mengenal bisnis di luar Indonesia dan melatih kemampuan bahasa Inggris saya yang masih pas-pasan. Tetapi semua ini akan segera saya tinggalkan karena minggu depan adalah minggu terakhir saya di Tempo Group, perusahaan tempat saya bernaung selama 6 tahun. Bukan waktu yang pendek, tetapi juga tidak terlalu lama. Panjang atau pendeknya waktu sebenarnya bukanlah patokan bagi kita untuk mengukur sejauh mana kita berkembang, tetapi kualitas kerja yang kita lakukan hari demi hari itulah yang menentukan sejauh mana kemajuan kita melangkah. Ketika saya memutuskan untuk keluar dan berkarya di tempat lain, itu merupakan pilihan yang saya buat. Sebuah quotation dari Kofi Annan, mantan sekretaris jenderal PBB dari Ghana dan peraih nobel perdamaian sangat menarik hari saya, “To live is to choose. But to choose well, you must know who you are and what you stand for, where you want to go and why you want to get thereHidup adalah pilihan. Tetapi untuk memilih yang baik anda harus tahu siapa anda, apa yang anda perjuangkan, kemana anda akan pergi, dan mengapa anda ingin ke sana.”  Pernyataan “hidup adalah pilihan” sudah terlalu sering saya dengar, tetapi kalimat-kalimat Kofi Annan berikutnya sangat menyentuh hati saya. Ya, kita memang harus memilih, tetapi bukan sembarang memilih karena ada syarat-sayrat untuk dapat memilih yang baik. Seperti saat ini ketika saya memutuskan untuk keluar itu adalah bagian dari saya mengenal diri saya sendiri, mengenal apa yang saya perjuangkan, kemana saya akan pergi, dan mengapa saya ingin ke sana. Kadang-kadang di tengah jalan saya ragu dengan pilihan yang saya lakukan, tetapi kalau mengingat kembali syarat-syarat tersebut, maka hati saya kembali dikuatkan.  Seperti cerita mengenai negara tetangga di awal tulisan, sebenarnya Indonesia bisa memilih untuk menjadi negara maju seperti mereka, tergantung kemauan pemerintah, pejabat, dan rakyat negeri ini. Mengenal negeri ini, tahu apa yang akan diperjuangkan, kemana Indonesia akan menuju, dan mengapa ingin ke sana. Semua dituangkan dalam perencanaan yang jelas, misi dan visi yang jelas. Ah, tapi mungkin pemikiran saya terlalu sederhana dan menggampangkan, padahal untuk mengurus sebuah negara tentu tidak mudah. Tetapi saya percaya bahwa semestinya Indonesia mampu karena banyak sekali orang pintar di negeri ini. Masalah mendasar adalah mental yang harus segera diperbaiki dan dirombak ke akar-akarnya.
Berbicara kembali mengenai pekerjaan saya sekarang, saya bersyukur pernah menjadi bagian dari Tempo Group, meskipun sekarang saya harus keluar dan tidak akan menoleh ke belakang. Salah satu hal yang berkesan di hati saya adalah Persekutuan Doa Tempo Group yang saya cintai. PD Tempo adalah bagian dari perkembangan iman saya, pergumulan, dan perjuangan yang sangat saya nikmati, tetapi saya percaya bahwa Tuhan sudah menyiapkan ladang lain dimana saya bisa berkarya. Saya sungguh terberkati dengan persekutuan ini, dan sungguh bersyukur bahwa pemilik perusahaan menyediakan tempat bagi anak-anak Tuhan untuk dapat bersekutu di tengah kesibukan bekerja.  Hidup adalah pilihan, saya mengimani itu dan saya telah memilih.  Saya percaya Tuhan sudah menyiapkan rencana yang indah bagi saya, seperti petikan lagu yang tadi kami nyanyikan di PD Tempo...

Dari semula tlah Kau tetapkan
hidupku dalam tanganMu
dalam rencanaMu Tuhan

Rencana indah tlah Kau siapkan
bagi masa depanku
yang penuh harapan

Smua baik smua baik
Apa yang telah Kau perbuat
di dalam hidupku

Smua baik sungguh teramat baik
Kau jadikan hidupku berarti

26.11.2010

No comments:

Post a Comment