Dua hari ini saya memanjakan diri untuk menyantap makanan di lingkungan kantor karena besok adalah hari terakhir saya dan tidak tahu lagi kapan bisa mampir ke situ. Yang pertama adalah semalam ketika saya mengenyangkan diri dengan semangkuk bakwan malang dari mas penjual yang gerobaknya selalu nongkrong di pinggir jalan depan kantor. Bakwan malang adalah salah satu pilihan saya selain nasi goreng atau ayam bakar ketika harus pulang malam, apalagi menjelang akhir tahun yang disibukkan dengan budgeting. Ketika sudah melangkah di parkiran mobil, mendadak saya ingin menikmati makanan tersebut. Jadilah malam itu saya duduk di kursi plastik sebelah gerobak dengan semangkuk bakwan malang plus suasana malam di Kuningan. Untungnya jalanan tidak terlalu macet, sehingga saya tidak perlu kuatir terpapar polusi Jakarta yang semakin parah. Semangkuk bakwan malang terasa nikmat dengan tambahan 2 pangsit goreng dan sedikit sambal. Hmmm....lapar, rakus, atau doyan? Hehehe… nggak tahu deh, mungkin terbawa suasana malam yang dipenuhi kerlip lampu nan indah sehingga nafsu makan saya melonjak naik . Dan begitulah, saya memuaskan rasa “hari-hari terakhir” sambil mengamati lalu lalang kendaraan. Beberapa orang nampak keluar dari gedung dan memesan makanan. Oh ya, di pinggir jalan depan kantor, ada beberapa penjual makanan yang siap menampung orang-orang lapar seperti saya di malam hari. Ada bakwan malang, siomay dan ketupat taoge. Kalau terasa haus sesudah makan, maka penjual minuman akan siap melayani anda dengan air mineral atau kopinya. Nah, itu cerita semalam. Yang kedua adalah hari ini ketika saya menapak tilas kebiasaan makan siang di kantor untuk melewati jembatan menuju pusat jajanan di seberang jalan. Sebenarnya saya tidak terlalu sering makan di sana karena agak malas kalau harus jalan dan terpapar sinar matahari (maklum kulit saya sudah kecoklatan, jadi jangan sampai berubah menjadi kehitaman). Sebagai gantinya saya akan mencari makan di kantin kantor yang berjumlah 3 buah itu dan menyantap makan siang di sana. Nyaman, sejuk, cuma agak mahal. Mungkin mahalnya itu yang menyebabkan rasa masakannya terasa biasa-biasa saja. Aha! Tetapi sejak 2 kantin tutup maka antrian jadi panjang dan membuat saya malas turun ke lobby. Akhirnya saya sering nitip ke OB dan makan di meja kerja, cuma lama-lama bosan juga sehingga saya mulai suka jalan ke seberang. Warung makan yang berjejer di seberang adalah tujuan favorit pegawai kantor di tempat ini. Letaknya persis di sebelah pom bensin Rasuna Said, satu-satunya pom bensin di kawasan tersebut. Kalau jam makan siang jangan harap akan mudah mendapatkan tempat duduk karena hampir semua warung makan sudah diserbu pelanggan. Begitu turun dari jembatan penyeberangan, berderet penjual makanan kaki lima yang menawarkan beragam makanan mulai dari soto ayam, sate kambing, sate ayam, ketoprak, nasi goreng, gado-gado, gorengan, pecel lele, pecel ayam, dengan aneka minuman seperti es buah, juice, es puding. Pokoknya komplit! Bahkan penjual CD dan VCD bajakan juga siap melayani anda. Tetapi kalau merasa tidak nyaman duduk di kaki lima, silakan masuk ke dalam untuk menemukan deretan warung makan dengan beragam pilihan dan selamat memilih sesuai selera. Saya sendiri terbiasa ke warung Bu Sri yang menyediakan masakan Jawa mulai dari pecel, urap, sayur lodeh, sayur nangka, sayur asem, oseng-oseng, dan segala macam lauk pauk. Maklum, meskipun sudah 7 tahun di Jakarta, lidah saya selalu kangen dengan masakan Ibu belasan tahun lalu di Solo. Murah, meriah, kenyang. Benar-benar cocok dan sesuai dengan perjuangan yang dilakukan sampai ke tempat itu. Hari ini menu saya adalah sepiring nasi pecel dengan bakwan jagung, telor mata sapi, kerupuk, dan segelas teh tawar dingin. Wah, mantap! Lebih seru lagi karena saya dan teman-teman selalu terhibur dengan gaya Bu Sri meladeni pelanggannya yang terkesan galak. Dengan usia sekitar 50 tahun, beliau terlihat tangkas melayani pembeli, bahkan tidak segan-segan sedikit membentak kalau kita agak lama memilih sayur atau lauk. Pertama kali ke sini saya sempat kaget melihat cara dia melayani. Wah, betul-betul tidak “customer satisfaction”, pikir saya, “masak orang mau beli kok dibentak.” Tetapi sekarang saya paham kenapa beliau seperti itu, maklum, jam-jam makan siang adalah jam rawan dengan antrian panjang. Mengamati cara dia melayani maka strategi saya adalah tembak langsung bahkan sebelum beliau bertanya. Kalau sudah begitu pasti si ibu tertawa dan bilang “wah, mbake jangan cepat-cepat”. Gantian saya membalas, “loh…kalau nggak cepat nanti ibu marah..” dan beliau tersenyum. Dengan strategi ini saya “selamat” sampai sekarang, bahkan seorang teman menjuluki saya penakluk Bu Sri. Hahaha. Menyenangkan, itu yang membuat makan siang saya jadi lebih enak. Meskipun antri, tetapi warung beliau selalu penuh, mungkin karena apa yang saya bilang tadi, murah meriah kenyang! Jangan berharap akan menemukan masakan yang sangat lezat, tetapi berharaplah menemukan makanan yang cukup nikmat, sesuai dengan uang yang dikeluarkan. Harus diakui saya akan merindukan saat-saat makan siang di sini bersama teman-teman, sesuatu yang akan segera saya tinggalkan.
Perjalanan kita di suatu tempat pasti akan berakhir, seperti saya yang saat ini akan segera keluar dari perusahaan tempat saya bernaung selama 6 tahun. Saya teringat ketika pertama kali datang ke kantor untuk mulai bekerja. Waktu itu saya masih muda. Kalau sekarang, usia saya memang sudah bertambah banyak, tetapi saya tahu persis bahwa saya tetap terlihat muda. Hahaha, narsisnya kambuh nih! Saya ingat secara detail hari pertama saya di kantor. Saat itu hari Jumat, 1 Oktober 2004, dan saya datang dengan blazer lengkap. Namanya juga pertama, harus jaga image lah ya. Tapi ternyata saya salah kostum, karena hari Jumat kita bebas berpakaian. Jadi atasan menerima saya dengan jeans dan kaos berkerah. Wah, betapa irinya saya dengan cara beliau berpakaian! Tapi tidak apa-apa, daripada tampil buruk, bukankah lebih baik membuat kesan pertama begitu menggoda? Hehehe. Saya menyadari ada hal-hal yang akan selalu kita ingat, tetapi ada yang segera hilang. Kenangan kehangatan kerja di Tempo akan selalu menjadi bagian dalam perjalanan saya selanjutnya. Jejeran warung makan di seberang juga menimbulkan nuansa tersendiri di hati saya. Ini adalah kedua kalinya saya pindah perusahaan saat di Jakarta. Yang pertama ketika saya pindah dari Interbat ke Tempo, dan yang kedua sekarang ini. Saya berharap apa yang saya tinggalkan meskipun kecil akan memberikan warna bagi perusahaan ini sehingga benih yang saya tabur akan tumbuh berkembang dan nantinya berbuah. Setiap keluar dari suatu perusahaan, saya berusaha mengingat apa yang sudah saya lakukan dan seberapa besar kontribusi saya. Terkadang ada kekecewaan kalau saya merasa prestasi saya tidak maksimal, tetapi juga kepuasan kalau mampu memberikan yang terbaik. Saat ini saya mulai melangkah keluar menuju ladang penggarapan berikutnya. Saya yakin tidak ada yang kebetulan dan apa yang terjadi semua karena kehendakNya. Kitab Yeremia 29 mengatakan “Usahakanlah kesejahteraan kota dimana engkau Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan karena kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu”. Ya, dimanapun saya bekerja saya harus memberikan yang terbaik karena kesejahteraan perusahaan tersebut adalah kesejahteraaan saya juga. Kenangan akan perusahaan ini, rekan kerja, atasan, bawahan, bakwan malang, warung Bu Sri akan selalu ada di hati saya. Kalaupun sekarang saya bersiap membuat cerita indah berikutnya di tempat yang baru itu adalah bagian dari kisah kehidupan saya. Dalam setiap perjalanan ada hal-hal yang tertinggal di hati meskipun ada juga yang dibuang, tetapi kita terus melangkah untuk mengukir cerita indah selagi ada kesempatan. Saya sedang melakukannya, bagaimana dengan anda?
02.12.2010
No comments:
Post a Comment