I can not wait for my next travelling! Ternyata jalan-jalan itu enak. Yup, siapa bilang nggak enak? Apalagi saat ini saya dalam posisi libur panjang dan tetap menerima uang gajian. Hehehe...Beberapa hari lalu saya baru balik dari Singapore, my first travelling abroad. Agak ndeso, tapi nggak apa-apa, justru itu asyiknya, lagi pula memang sengaja pergi dengan setengah backpacker (kalau mengaku backpacker murni belum tega, la wong backpacker kok yang dituju tempat belanja melulu. Haha). Persiapan menjelajah negeri tetangga ini sudah saya lakukan jauh-jauh hari, bahkan saya sengaja membeli buku panduan jalan hemat ala backpacker, browsing internet, peta Singapore, tempat-tempat yang akan dituju, makanan, dan banyak hal lainnya. Ini pula yang saya lakukan untuk tujuan berikutnya di Bangkok. Benar-benar saya perlakukan dengan serius, serasa riset, dengan menggabungkan bahan dari buku dan hasil pencarian di internet yang kemudian saya tata sendiri untuk membuat rencana perjalanan dengan menyesuaikan waktu yang ada. Hotel juga sudah saya pesan jauh-jauh hari sehingga semua persiapan terasa komplit. Wah, benar-benar mantap dan tinggal berangkat (yang penting bawa uang banyak. Hehehe). Saya sengaja tidak menggunakan jasa tour travel karena ingin mengeksplorasi dan mencari tahu sendiri negara tujuan. Selain lebih bebas, juga menghemat. Untuk wisatawan seperti saya, perbedaan sekian dollar tentu bermakna. Hehehe. Sebenarnya saya sangat geli karena begitu serius mempersiapkan pengetahuan mengenai negara yang akan dituju dengan membaca sebanyak-banyaknya termasuk rute perjalanan yang akan dilewati. Dengan cara seperti ini saya serasa sudah mengenal negara dan kota tersebut, bahkan sebelum saya menginjakkan kaki ke sana! Hal yang justru tidak saya lakukan ketika saya berangkat ke Jakarta 7 tahun yang lalu. Tidak ada acara membaca buku mengenai Jakarta, mengumpulkan bahan, dan mempelajari kota ini. Mungkin karena merasa masih di negeri sendiri sehingga tidak terlalu peduli dan beranggapan tidak mungkin tersesat. Kalaupun terpaksa nyasar tinggal naik taksi, selesai. Nah, kalau pergi ke luar negeri pikiran seperti itu harus saya buang karena tentu saya berusaha mengatur pengeluaran dengan baik. Karena tidak mempelajari Jakarta, saya tidak terlalu mengenal kota ini dan potensi pariwisatanya. Paling banter Ancol, Dufan, Waterboom, Monas, Kota Tua, Mangga Dua. Wah, saya jadi merasa bersalah karena tidak mengenal dengan baik kota yang menghidupi saya bertahun-tahun dan saya tempati untuk berkarya. Yang tersisa justru kesan kotor, kumuh, macet, banjir, dan semrawut. Hal yang sangat bertolak belakang dengan penilaian saya tentang Singapore bahkan ketika baru mendarat di bandaranya. Megah, modern, rapi, tertata, itu kesan pertama saya ketika mendarat di Changi. Karena menobatkan diri sebagai setengah backpacker maka saya memilih tidak menggunakan taksi untuk menuju hotel. Alasannya jelas, pertama, ingin merasakan MRT (Mass Rapid Transportation) Singapore yang terkenal itu, kedua karena merasa setengah backpacker, ketiga karena sengaja mengulur waktu agar tiba di hotel tidak kepagian, dan terakhir tentu saja karena ingin berhemat! Anda bisa memilih alasan mana yang kelihatannya paling masuk akal dengan diri saya. Hehehe. Hal yang mengagumkan adalah Singapore menata transportasinya dengan sangat baik, sehingga dari bandara Changi saya sama sekali tidak kesulitan menuju kota. Dari terminal 1 Changi saya naik skytrain ke arah terminal 3 karena MRT Changi station terletak diantara terminal 2 dan terminal 3. Skytrain disediakan gratis dan selalu tersedia hampir setiap 2 menit. Satu hal yang menarik adalah semua penunjuk arah terpampang dengan jelas sehingga meskipun baru pertama kali ke Singapore dijamin anda tidak tersesat. Kalaupun nyasar sedikit-sedikit ya wajarlah, kan justru bisa jadi cerita indah. Sampai di terminal 3 saya menuju MRT station yang ada di basement, dan let the camera flash began! Sudah diduga perjalanan ini adalah perjalanan narsis sehingga di setiap tempat jeprat jepret pun tidak terelakkan, termasuk tulisan MRT station dan ticket. Hahaha! Di sebelah General Ticket Machine (GTM) tempat saya akan membeli tiket, berdiri seorang ibu petugas berwajah India yang menyapa dengan ramah, “Where are you going?” “Little India”, jawab saya. “Little India?” “Yes, I want to go to Selegie Road. My hotel is Fragrance Selegie.” “Oh...Selegie Road. The best one. How could you stay there, always full.” “Yes, I booked the hotel since 3 months ago.” jawab saya “O...good.” Hotel tempat saya bermalam memang terletak sangat dekat dengan MRT Little India, hanya sekitar 200 meter. Dengan sangat baik beliau melayani saya dan menjelaskan cara menuju ke sana, dimana saya turun, berapa kali ganti MRT, dan terakhir memberikan saya peta kecil rute MRT. ”How long will you stay here?” tanyanya melanjutkan. “3 days.” “3 days? Ok, You better buy Singapore Tourist Pass for your trip. You could go to Bugis MRT station tomorrow, close to Little India. Just go there by walk. Ticket office open on 10 am” jelasnya lagi. Sangat membantu dan sungguh-sungguh mencerminkan keseriusan negara ini untuk meningkatkan pariwisatanya. Mungkin mereka menyadari tidak memiliki sumber daya alam yang cukup, sehingga sektor pariwisata adalah penggerak perekonomian. Saya merasakan bahwa semua petugas begitu terpanggil untuk membantu wisatawan dan menjelaskan dengan sangat ramah.Seperti sebelumnya ketika saya agak bingung harus ke terminal 2 atau terminal 3 untuk menuju MRT Changi station, tourist information center menjadi andalan saya untuk bertanya. Kalau kita terbiasa dengan stasiun yang ramai, banyak penjual, sampah berserakan, orang makan dan minum, maka itu tidak akan pernah kita dapatkan di MRT station. Sangat bersih dan teratur. Bahkan saya tidak berani minum meskipun merasa haus karena saya amati tidak ada orang yang minum atau makan di station. Saya penasaran apakah memang dilarang, tetapi tidak ada tulisan apa-apa yang melarang orang makan dan minum. Rasa penasaran saya akhirnya terjawab ketika di station berikutnya saya membaca peringatan dilarang minum dan makan. Pantas, tidak ada seorangpun yang melakukannya, bahkan hanya untuk minum. Jadi kalau mau naik MRT siapkan diri anda untuk kenyang dan minum dulu secukupnya karena anda tidak bisa melakukannya begitu sudah masuk ke station. Hehehe. Yang mengagumkan saya adalah semua orang menaatinya (termasuk saya yang sebenarnya ingin minum dan menggigit roti secuil saja). Mungkin karena takut dengan dendanya (saya tidak tahu persis berapa denda yang dijatuhkan kalau melanggar peraturan tersebut dan juga tidak tertarik untuk bertanya). Tetapi apapun itu, entah takut denda atau memang karena kesadaran sendiri, ketaatan warga negara ini terhadap peraturan yang ada patut diacungi jempol. Penumpang yang keluar masuk kereta pun juga teratur. Yang mengherankan turis-turis seperti saya (yang kadang-kadang melanggar peraturan di negeri sendiri) juga dengan rela mengikutinya dan merasa bangga melakukannya. Kalaupun nanti saya balik Jakarta lagi pasti sudah lupa dengan pelajaran yang didapat, dan segera berkilah dengan tangkas, “Tentu saja di Singapore saya taat, karena yang lain juga taat. Kalau di Jakarta, saya taat tetapi yang lain tidak, kan jadi rugi sendiri. Mendingan sama-sama tidak taat.” Begitu deh...jadinya saling menunggu orang lain untuk taat. Sebenarnya ingin memulai dari diri sendiri dan menjadi contoh, tetapi karena terlalu sering meilhat ketidaktaatan, maka yang taat justru menjadi anomali, barang aneh. Akhirnya sampailah saya di MRT Little India setelah perjalanan 1 jam dan berganti kereta 3 kali yang ternyata sangat mudah dan nyaman. Jarak kedatangan satu MRT dengan MRT berikutnya hanya berkisar 2-3 menit sehingga tidak ada penumpukan penumpang. Sekali lagi saya kagum dengan cara pemerintah Singapore menata transportasinya dan merindukan Jakarta memiliki hal yang sama. Apakah karena Singapore sangat kecil sehingga lebih mudah ditata sedangkan Jakarta sudah terlanjur penuh sesak dimana-mana? Mengamati kemacetan Jakarta yang semakin parah akhir-akhir ini, sepertinya alat transportasi massal yang dapat mengangkut banyak orang seperti MRT dapat dijadikan pilihan, meskipun menurut saya yang pertama harus dibenahi adalah karakter orang-orangnya, baik pemerintah, warga, dan semua komponen yang mencintai Jakarta. Kalau Singapore saja bisa, mestinya Jakarta juga bisa (entah kapan). Keluar dari MRT station dan melangkahkan kaki ke jantung kota Singapore membuat saya kembali berdecak kagum. Bukan karena gedung tinggi yang menjulang, tetapi sekali lagi karena keteraturan kota ini. Jalanan tidak terlalu ramai, mungkin karena saat itu jam 2 siang, tampak ada beberapa proyek di jalanan yang sedang dilakukan. Hebatnya, proyek tersebut sama sekali tidak mengganggu kelancaran lalu lintas, ditutup dengan sangat baik, dan tetap disediakan jalan bagi pejalan kaki. Ya, saya setuju dengan buku yang saya baca bahwa Singapore adalah sorga bagi pejalan kaki karena disetiap jalur jalan yang saya lewati selalu disediakan tempat untuk pejalan kaki. Keteraturan kota ini juga tampak dari orang-orang yang melintas dan menyeberang jalan yang taat pada rambu-rambu yang ada. Ketika tanda merah bagi pejalan kaki, maka semua orang akan berhenti meskipun tidak ada mobil atau motor yang lewat, dan baru berjalan lagi ketika tanda berubah hijau. Kalau di Jakarta mana ada pemandangan seperti ini. Mobil, motor, metromini, pejalan kaki, sama-sama berebut saling mendahului dan mencari jalan sendiri-sendiri. Yap, lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Saya setuju dengan peribahasa itu, yang mengartikan bahwa masing-masing daerah punya cara, kebiasaaan, adat, dan budaya yang berbeda. Tetapi keteraturan dan ketaatan semestinya berlaku universal. Saya sungguh ingin Jakarta teratur dan nyaman, mudah-mudahan bukan hanya sebuah impian. Singapore tidak kurang beragamnya dibading Jakarta. Ada Melayu, China, India, tetapi di tengah keragaman tersebut mereka memiliki bahasa universal untuk keteraturan. Mungkin sedikit berbeda kalau di Little India, karena ketika hari Minggu saya jalan di area tersebut, hampir di setiap tikungan dan tempat penuh gerombolan orang India. Sangat sesak, dan sesukanya, sehingga saya merasa seperti tidak sedang di Singapore. Agak seram juga kesannya sehingga saya jalan dengan lebih cepat. Kelihatannya daerah ini tidak begitu nyaman untuk jalan kaki, meskipun ini persepsi saya saja, karena sehari sebelumnya saya lewat tempat yang sama tapi tampak biasa meskipun tetap ramai, mungkin karena Minggu hari libur. Tapi begitu keluar dari area tersebut, keteraturan kembali terjaga. Terlepas dari itu, saya mengagumi Singapore sebagai sebuah negara yang sukses mengembangkan pariwisatanya tanpa ada sumber daya alam yang memadai, dan menjaga ketaatan serta keteraturan warganya. Indonesia memiliki sumber daya alam yang jauh lebih hebat, tetapi mungkin karena merasa kaya sehingga kita merasa cukup. Tiba-tiba saya ingat Malioboro Jogja yang bisa juga ditata seindah Orchard road, atau Pasar Klewer Solo yang memiliki karakteristik hampir sama. Indonesia jauh lebih kaya akan alam, budaya, etnis, makanan, dan segala hal, sehingga semestinya kita bisa terbang jauh lebih tinggi dibanding negeri singa itu. Sumber daya alamnya melimpah, pertanyaannya apakah sumber daya manusianya kompeten untuk mengelolanya? Mestinya iya, karena Indonesia penuh dengan orang pintar. Jadi? Itulah yang harus dicari jawabannya dan menjadi tanggung jawab kita bersama.
____***_____
Pagi tadi saya berjalan kaki dari Cempaka Putih ke Taman Solo karena ada yang harus dibeli di minimarket. Maklum masih libur, jadi kerjaannya nyantai dan jalan-jalan. Kenangan berjalan kaki di Singapore masih melekat sehingga saya ingin merasakannya lagi di Jakarta. Tetapi ternyata saya harus bersaing dengan kendaraan lain sampai harus mepet ke pinggir karena tidak ada trotoar dan was-was tersenggol kendaraan meski sukses juga sampai tujuan. Wah, dari rencana mau jalan PP akhirnya saya nyerah pulang naik bajaj. Ambil sisi positifnya deh, memberi rejeki ke orang lain. Ya nggak? Hehehe..
(Sebenarnya ingin menulis pengalaman saya jalan-jalan di Singapore, tetapi jatuhnya selalu refleksi. Mungkin karena belum terbiasa menulis perjalanan, sehingga pikiran saya selalu membawa ke arah perenungan. Hehehe, it’s fine, makanya saya beri judul part 1. Mudah-mudahan saya segera menulis pengalaman jalan-jalannya sehingga bisa jadi catatan jurnal, tanpa embel-embel refleksi)
nice blog posting! ditunggu lho part-part selanjutnya :)
ReplyDeletethanks alissa, enjoy notes yang lain yah... semoga bermanfaat!
ReplyDeleteSingapura memang negara kecil, oleh karena itu gak heran,semuanya serba teratur, dan gak salah donk kalo salah satu julukannya adalah " Fine City ". Siapapun yang berada di sana pasti bakal mikir berkali-kali kalau punya niat jelek mengotori dan merusak fasilitas umum negeri yang amat bersih itu. Penerapan hukum di sana amat tegas. Enaknya lagi, hampir semua wilayah di Singapura sudah tercover oleh MRT, termasuk dari bandara ke pusat kota. Selain MRT, bisa kita jumpai juga Skytrain lho. Adanya di Sentosa Island, yang menghubungkan 1 kompleks wisata dengan kompleks lainnya di Pulau Sentosa. Jadi kita tidak perlu bercape-cape jalan kaki untuk berkeliling di Sentosa. Sungguh nyaman dan praktis ! Ya, smoga Indonesia bisa mengikuti dan mengadaptasi semua kecanggihan yang ada di Singapura ini! Amin!
ReplyDeletehalo Andhito setuju banget dengan komentarmu. Mungkin juga karena Sin negara kecil, ngaturnya lebih mudah, beda dengan Indo. But tetep berharap someday Indo bisa seperti itu. thanks a lot yah...
ReplyDelete