Friday, December 3, 2010

the meaning of dedication

Tiga hari menderita diare menyadarkan saya bahwa tidak ada penyakit yang bisa dipandang “enteng”. Buktinya meskipun “cuma” diare saya sampai tidak bisa pergi ke gereja di hari Minggu karena takut bolak-balik ke belakang dan bahkan izin tidak masuk kerja. Sampai sekarangpun badan masih terasa lemas dan aktivitas bolak-balik itu masih terjadi. Padahal saya sudah minum obat yang menurut saya cukup baik untuk menyembuhkannya, meskipun hati saya belum tergerak untuk menyentuh antibiotika.  Entah kenapa, saya cukup alergi mendengar kata antibiotika. Sebisa mungkin tanpa obat jenis itu saya bisa sembuh. Bukan apa-apa, cuma karena pemakaian antibiotika yang menurut saya semakin tidak rasional akhir-akhir ini, maka resistensi terhadap obat golongan ini kelihatannya cenderung meningkat. Meskipun demikian, diare yang saya alami cukup mengingatkan saya betapa tidak enaknya penyakit yang “hanya” diare ini sehingga saya menjadi lebih bisa berempati terhadap para “pasien” diare. Seseorang pernah berkata kepada saya, seorang dokter akan lebih bisa berempati kalau dia sudah pernah merasakan dan mengalami sendiri suatu penyakit sehingga dia tahu apa yang dirasakan pasiennya. Misalnya seperti diare yang saya alami. Karena pernah merasakan, maka ketika ada pasien yang mengalami hal yang sama saya akan lebih bisa “menjiwainya” dalam memberikan terapi. Pernyataan tersebut bisa ya bisa tidak. Karena menurut saya tidak mungkin seorang dokter akan mengalami seluruh penyakit baru bisa benar-benar menjadi seorang dokter.  Keburu stress, dan itu juga tidak perlu! Kalau hanya batuk pilek, diare, demam, masih bisa ditolerir. Tetapi bayangkan seandainya untuk menjadi dokter seseorang harus mengalami demam berdarah, tiphus, malaria, hepatitis, bahkan AIDS. Waduh, kelihatannya kampus kedokteran akan segera tutup dan banyak orang tua yang melarang anaknya bersekolah kedokteran. Selain tidak masuk akal, sekolah juga menjadi tidak ada gunanya. Tetapi di sisi lain saya setuju, bahwa seorang dokter yang pernah mengalami sakit tertentu akan menjadi lebih berempati kepada pasiennya seperti diare yang saya alami, meskipun saya sudah tidak pernah berpraktek dokter lagi. Apa yang saya sampaikan hanyalah pelajaran yang saya dapatkan dalam tiga hari ini. Orang sering tidak bisa berempati kepada orang lain karena mereka tidak pernah mengalami hal tersebut.  Hellen Keller menciptakan huruf Braille karena dirinya buta dan merasakan kebutuhan orang-orang tuna netra seperti dirinya. Empati yang besar telah menggerakkan energinya sehingga mampu membantu jutaan orang tuna netra di dunia dengan huruf yang diciptakannya. Pejabat seperti tidak peduli terhadap kemacetan, karena mereka tidak pernah mengalaminya. Bagaimana mengalami kalau mereka selalu menggunakan vorijder yang meraung-raung untuk mengawal perjalanannya sehingga mulus sampai ke tempat tujuan. Pembicaraaan mengenai kemacetan Jakarta hanyalah menjadi wacana tanpa pernah benar-benar tergerak untuk menyelesaikannya. Saya tertarik untuk sedikit mengulas Mbah Maridjan. Di luar pro dan kontra yang ada mengenai beliau, saya menganggap Mbah Maridjan sudah menyatu dengan alam yang dijaganya, bahkan sampai menyerahkan nyawanya terhadap amukan alam tersebut. Saya tidak mengatakan bahwa saya setuju dengan keputusan almarhum yang tetap tidak mau turun meskipun status merapi sudah menjadi awas. Tetapi yang ingin saya ulas adalah kesediaan beliau untuk menunaikan tugasnya sampai akhir. Entah tugas yang diberikan itu apakah benar-benar memiliki “job description” seperti yang sudah dilakukan dan diinterpretasikan oleh beliau saya tidak tahu. Tetapi memegang kesetiaan sampai akhir karena merasakan kesatuan dengan tugas yang diembannya menjadi poin penting. Apakah keyakinannya dapat diterima oleh akal sehat, ini juga masih pro dan kontra, dan saya sedang tidak dalam kapasitas membicarakan hal ini. Mungkin anda akan berkomentar, kalau begitu sama dong dengan teroris yang memegang keyakinan akan kebenaran tugas yang diembannya sampai rela mati dengan bom bunuh diri. Kalau dalam hal ini saya dengan tegas akan menjawab tidak! Mbah Maridjan mengemban tugas sampai akhir, tetapi dia tidak pernah mencelakai orang lain. Kalaupun ada orang-orang yang mengikuti beliau dan tidak mau turun itu bukan karena dipaksa. Itu adalah kehendak bebas mereka. Sedangkan teroris tentu sangat berbeda. Mereka memaksakan keyakinan sampai menyakiti bahkan membunuh orang lain. Yang ingin saya sampaikan adalah seandainya semua orang mengemban tugas seperti Mbah Maridjan alangkah amannya negeri ini. Tidak akan pernah muncul ucapan pejabat yang menyatakan bahwa korban bencana terjadi karena salah masyarakatnya yang tinggal di daerah bencana. “Kalau tidak mau terkena tsunami, jangan tinggal di tepi laut”. Ucapan seperti itu sungguh tidak pantas dan sangat melukai hati korban bencana. Itu terjadi karena pejabat kita ini tidak berempati dan tidak menyatu dengan tugasnya sebagai wakil rakyat. Sungguh ucapan ini sangat disayangkan keluar dari mulut seorang ketua DPR. Lain lagi dengan anggota DPR yang berbondong-bondong melakukan studi banding ke sana dan ke sini sementara rakyat yang diwakilinya sedang sangat menderita terkena bencana. Saya tidak membayangkan bagaimana mereka bisa tega melakukan itu. Ketika kasus Century, semua wakil DPR berbicara lantang, tetapi ketika terjadi bencana di negeri ini, apa yang dilakukan? Hampir tidak ada beritanya. Yang saya tahu hanyalah usulan dari seorang anggota DPR agar gaji DPR dipotong untuk disalurkan ke korban bencana. Itupun terinspirasi dari pemotongan gaji PNS di Magelang yang digunakan untuk membantu korban bencana merapi. Selebihnya? Hening. Paling kunjungan DPR ke tempat-tempat pengungsian. Tetapi coba lihat  kasus Century, Gayus, Susno, mereka berteriak sangat kencang atas nama “rakyat”.  Saya tidak 100% apriori terhadap wakil-wakil rakyat di DPR, karena mestinya ada juga orang-orang baik di sana. Tetapi sayangnya apa yang tampak dari luar saat ini menyiratkan bahwa DPR tidak lebih dari kumpulan orang-orang yang berusaha mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan di saat kampanye, bukan karena panggilan hati untuk mewakili rakyat yang memilihnya. Bukan setulus Mbah Maridjan yang sebagai abdi dalem kraton mungkin hanya digaji sekian rupiah, tetapi melaksanakan tugasnya sampai akhir hayat. Selama bencana yang melanda negeri ini saya justru melihat gerakan tulus dari rakyat. Benar-benar dari rakyat untuk rakyat. Tanpa banyak bicara rakyat bahu membahu membantu korban bencana. Tidak banyak bicara, tetapi melakukan, dan tidak membutuhkan peliputan dari media massa! Masyarakat tergerak untuk menolong dirinya sendiri. Kenapa? Karena masyarakat berempati, merasakan duka itu, merasakan derita itu.  Sedangkan wakil rakyat di Senayan, mungkin terlalu sibuk dengan urusan studi banding dan pro kontra pembangunan gedung yang baru sehingga tidak ada energi lagi untuk mewakili rakyat yang memilihnya.  Atau mungkin juga mereka sibuk berangkat ke Mekkah untuk memantau pelaksaaan Haji tetapi disertai dengan rombongan keluarga yang diklaim berangkat atas biaya sendiri. Tetapi siapa yang tahu? Kalau seseorang berangkat atas nama “tugas negara” tetapi membawa rombongan seperti itu mau jadi apa negeri ini? Tulisan ini mungkin menyiratkan sikap skeptis terhadap wakil rakyat di DPR, tetapi itulah yang saya rasakan. Atau mungkin saya yang tidak peka dengan “perjuangan-perjuangan untuk rakyat” yang telah dilakukan mereka selama ini. Ah, saya tidak tahu. Tetapi  seandainya mereka mau membumi dan menyadari tugasnya, berempati dan benar-benar “mengabdi” , saya percaya negeri ini akan lebih baik. Cerita saya di awal mengenai diare hanyalah menuntun saya untuk belajar memahami bahwa berempati dengan orang lain akan membuat kita menjadi lebih baik lagi dalam mengemban tugas yang menjadi panggilan kita. Mbah Maridjan juga tempelan yang menuntun saya akan arti sebuah pengabdian. Seorang yang tidak memiliki pendidikan setinggi kita saat ini, tetapi memaknai pengabdian lebih dari yang pernah saya bayangkan, yang menampar saya dan tentu saja para wakil rakyat yang terhormat di Senayan.  Sekarang, apa yang akan kita lakukan untuk memaknai panggilan kita masing-masing? Apakah kita memiliki cukup energi untuk “mengabdi” terhadap panggilan kita dengan setulus hati?

9.11.2010

No comments:

Post a Comment