“Sakit berarti badannya perlu istirahat. Jadi istirahat saja, Bu”, demikian pesan seorang teman dokter melalui bbm nya ketika saya tanya obat apa lagi yang perlu saya minum untuk mempercepat proses penyembuhan penyakit thypus yang saya derita. Saya tersenyum membacanya dan tidak bertanya lebih lanjut. Dalam hati saya berkata, buat apa protes, memang begitulah kenyataannya.
Sakit, bukanlah hal yang mengenakkan. Apalagi bagi saya yang “terbiasa” jarang sakit. Paling banter batuk pilek, diare, atau yang “agak” parah waktu itu adalah campak, yang memaksa saya untuk beristirahat selama beberapa hari. Tetapi itupun sangat jarang terjadi. Jadi kalau saat ini saya harus terbaring karena thypus, bagi saya ini kenyataan yang harus diterima. Paling tidak sudah ada yang berubah, misalnya kalau saya harus mengisi formulir donor darah yang biasanya ada kolom riwayat penyakit. Kalau selama ini saya mencentang tanda “tidak pernah”di riwayat penyakit thypus, berarti mulai sekarang mau tidak mau saya harus merubah kolom yang saya centang.
Dalam hati sebenarnya saya sedang bertanya-tanya, kenapa bisa sakit. Padahal saya merasa sudah menjaga kesehatan sebaik-baiknya. Mulai dari buah-buahan, jus, olahraga teratur, minum vitamin, dan yang lainnya. Bagaimana dengan makanan sehari-hari? Ya sih, kalau itu masih harus dipertanyakan karena saya selalu jajan di pinggir jalan (tapi bukankah kalau jajan di tengah jalan justru tidak mungkin? Ketabrak dong...hahahaa). Padahal yang namanya thypus kan ditularkan melalui media makanan dan minuman. Bakteri Salmonella yang menjadi penyebab penyakitnya suka bertengger di makanan yang kurang terjaga kebersihannya. Waduh...berarti saya harus merubah pola makan nih, termasuk pola jajan, bukan lagi di pinggir jalan, tetapi harus di tempat yang lebih “terjamin” kebersihannya. Hehehe. Meskipun kalau iseng masih bisa dipertanyakan lagi kenapa jatuh sakitnya baru sekarang, bukankah selama ini pola makan saya sudah seperti itu? Yah, berarti kamu beruntung saja, jawab teman dokter saya sekenanya, mungkin sudah mulai jengkel karena saya yang bukannya istirahat tetapi justru tidak berhenti bertanya. Beruntung, masih dilindungi. Beruntung, masih boleh bekerja terus setiap hari. Nah sekarang memang harus beristirahat. Siapa tahu itu akumulasi dari rasa capek yang sebenarnya sudah berminggu-minggu tetapi tidak dirasakan. Sudahlah Bu, “sakit berarti badannya perlu istirahat”, kata teman saya lagi, kali ini dengan tambahan icon malaikat.
Saya terdiam dan menyadari benar juga yang teman saya katakan. Istirahat, sepertinya sepele, tetapi ternyata memiliki dampak yang hebat bagi tubuh kita. Makanya dalam seminggu orang harus beristirahat minimal 1 hari untuk kembali rileks dan bisa bekerja dengan segar di awal minggu. Sementara saya? Seringkali istirahat pun saya isi dengan jalan-jalan ataupun sesuatu yang memerlukan tenaga sehingga saya merasa kehabisan energi di minggu berikutnya. Tetapi bukankah istirahat bukan berarti harus tiduran terus di rumah? Rekreasi, jalan-jalan ke mall, bermain bersama teman, itu juga istirahat? Oh ya, saya setuju, tetapi ternyata terkadang tubuh hanya ingin kita berdiam dan menghabiskan waktu di rumah dengan santai. Mendengarkan musik, menonton dvd, bercengkerama dengan keluarga, tidur. Banyak pilihan cara istirahat yang bisa kita nikmati, tetapi memang yang paling penting adalah kita mengetahui batas kemampuan dan kekuatan tubuh kita sendiri. Nah ini yang seringkali saya lupakan. Saya merasa kondisi fisiknya masih seperti 10 tahun yang lalu, padahal jelas tidak mungkin. Saya juga sering menyepelekan tanda-tanda kecapekan yang saya rasakan, dengan alasan “sebentar lagi istirahat”, tetapi setelah itu tetap tidak beristirahat! Itu baru beristirahat secara fisik, bagaimana secara psikis? Ini lebih bermakna lagi sepertinya. Terkadang kita mengalami stress yang membuat kita merasa capek dan ingin tidur, agar bisa melupakan masalah yang ada. Faktor psikis tentu tidak bisa kita kesampingkan, justru akhir-akhir ini psikis menjadi pencetus dari berbagai macam penyakit. Stress pekerjaan, tuntutan hidup, ketegangan-ketegangan yang dialami, ketidakpuasan, seringkali berujung pada kekecewaan. Dan jangan salah, itu semua membuat tubuh kita menjadi rentan terhadap berbagai penyakit karena daya tahan tubuh yang berkurang. Makanya cara paling manjur adalah hati yang “semeleh”, istilah Jawa yang berarti ikhlas, rela, bersyukur. Dijamin, tubuh kita kuat secara fisik maupun psikis. Kalau dulu di usia lebih muda, saya boleh berbangga dengan fisik yang kuat, tetapi sekarang sepertinya saya harus lebih berhati-hati. Teman-teman kos dengan bercanda mengatakan, ingat nih, faktor “u”, sudah tidak seperti zaman dulu lagi yah. Ingat waktu dan fisik. Saya hanya tertawa, meskipun harus mengakui bahwa sepertinya saya memang perlu merubah pola hidup yang saya jalani. Lebih sehat, lebih mengenal tanda-tanda dari dalam tubuh sendiri, kapan harus berhenti, kapan harus melanjutkan perjalanan, dan lebih “semeleh”.
Berbicara mengenai tanda, saya melayangkan pandangan ke luar jendela dan menyadari bahwa cuaca mendung sore ini. Prediksi saya langsung bicara bahwa kemungkinan akan hujan, dan prediksi itu biasanya benar. Kenapa? Karena saya mengenal tanda-tanda alam. Kalau ditarik lebih jauh, seandainya cuaca mendung dan saya harus bepergian dengan berjalan kaki, maka saya pasti akan membawa payung untuk melindungi saya terhadap hujan. Itu tanda yang sangat mudah dan jelas. Pertanyaannya, tubuh saya juga sering memberikan tanda, terlalu capek, tetapi saya tidak berhenti. Bisa jadi karena memang belum bisa berhenti, atau karena saya tidak mau berhenti. Tetapi sama dengan tanda alam, tubuh pun memberikan sinyal ketika ada sesuatu yang tidak beres, dan semestinya saya peka dengan tanda-tanda yang ada, bahwa saya memang perlu berhenti sebentar, beristirahat untuk menjadi lebih segar. Karena kalau tanda-tanda itu diabaikan, tubuh akan memaksa kita dengan caranya sendiri agar kita beristirahat. Jangankan kita, Tuhan pun perlu berhenti pada hari ke-7 dalam penciptaan alam semesta, untuk mengajarkan bahwa kita pun perlu waktu untuk beristirahat, mengisi ulang energi kita sebelum melanjutkan perjalanan.
Saya membayangkan sebuah perjalanan panjang tanpa ada titik-titik perhentian. Kita akan dipaksa untuk terus berjalan sampai kehabisan tenaga, dan akhirnya justru tidak mencapai tempat yang kita tuju. Saya teringat dulu ketika masih muda dan ikut naik gunung. Ada beberapa titik perhentian untuk beristirahat, agar kita bisa mengatur kembali tenaga, membuang beban yang tidak berguna, menambah logistik dan air minum yang kita perlukan, mengatur ulang pendakian, dan sebagainya. Kenapa? Karena memang titik perhentian diperlukan. Bukan untuk mundur, tetapi untuk berhenti sejenak dan menapak dengan lebih tegak. Istirahat bukan berarti kita membuang waktu, tetapi justru memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya karena tubuh akan kembali diisi dengan energi baru. Jadi kalau saat ini saya sedang terbaring karena sakit, berarti tubuh saya memang perlu beristirahat. Tidak perlu panik ataupun merasa kehilangan banyak waktu untuk bekerja, karena justru saya harus bersyukur masih diberi waktu untuk berdiam diri dan belajar dari rasa sakit.
Sakit, berarti tubuh kita perlu istirahat. Ya, sesederhana itu, semudah itu. Selamat beristirahat untuk teman-teman yang saat ini sedang sakit, atau merasa sangat capek tetapi tidak ada waktu untuk beristirahat. Saatnya belajar menyediakan waktu, daripada suatu ketika kita dipaksa untuk berdiam diri dan tidak bisa menghindar lagi karena terbaring sakit. Kalau saat ini sedang sakit, selamat menikmati rasa sakit itu, bersyukurlah untuk apapun yang dialami saat ini. Get well soon! God bless you...
No comments:
Post a Comment