Friday, May 25, 2012

Mabuk Laut (part 2)


Masih tentang mabuk laut. Rasanya topik ini menyisakan banyak hal untuk diceritakan. Diam, pasrah,tetapi tetap bertahan karena tidak ada pilihan. Tidak mungkin saya terjun ke laut dan keluar kapal, bunuh diri namanya. Hahaha. Kalau mabuk darat, saya bisa minta sopir menepi dan buru-buru melompat ke luar. Itulah gambaran yang tepat untuk menjelaskan situasinya. Bahkan teman saya mengatakan, yang dilakukan hanyalah bertahan, dan berharap untuk segera sampai ke daratan. Serasa berada di dalam sebuah penderitaan atau kesusahan, tetapi tidak bisa melakukan apa-apa selain diam dan bertahan, dengan masih menyisakan harapan.
Saya merenungkan hal itu. Diam, bertahan, harapan. Diam, karena memang tidak bisa melakukan apa-apa. Duduk susah, apalagi berdiri dan berjalan. Saya hanya memilih posisi paling enak yang membuat saya nyaman, paling tidak mengurangi rasa sakit yang saya rasakan. Tetapi saya harus bertahan menghadapinya, karena masih ada harapan untuk sampai ke daratan. Ketika segala sesuatu tampak begitu sulit, yang bisa dilakukan adalah bertahan dan menghadapinya. Kenapa? Karena tidak ada pilihan lain. Tidak mungkin lari menghindar. Saya bisa bertahan karena saya mempunyai harapan bahwa kapal akan merapat ke daratan dan penderitaan berakhir. Harapan tersebut meskipun terasa lama, memunculkan rasa optimis bahwa waktu berjalan dan kesusahan akan segera berlalu. Harapan saya membungkah menjadi kebahagiaan ketika kapal sudah merapat ke daratan, dan saya lega melangkah ke luar.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan harapan sebagai “suatu keinginan supaya menjadi kenyataan”. Pernahkah anda memiliki sebuah harapan? Pasti anda menjawab “yes, absolutely”,  baik yang sederhana maupun yang besar.  Kalau mengenang masa lalu, saya berpikir bahwa terkadang saya memiliki harapan konyol.  Dulu ketika kuliah saya berangkat bersama kakak karena kantornya saya lewati setiap pergi ke kampus. Saya akan menurunkan kakak di pinggir jalan besar, lalu beliau berlanjut dengan berjalan kaki menuju kantor. Suatu pagi ketika kami berangkat, tiba-tiba ada sebuah kendaraan menyalip saya dan ternyata itu adalah teman kantornya.  Maka kakak pun heboh meminta saya memacu kendaraan agar bisa mengejar, karena beliau ingin berpindah tumpangan. Harapan saya waktu itu adalah menemui lampu lalu lintas yang berwarna merah sehingga teman kakak berhenti yang berarti saya bisa mengejarnya. Kalau saya pikirkan, itu adalah harapan aneh yang pernah ada di hati saya. Bayangkan, orang berkendara di jalan raya tentu ingin lampu lalu lintas berwarna hijau dan terus berjalan. Tetapi karena ada kepentingan, maka saya berharap lampu menyala merah. Harapan itulah yang membuat saya memacu kendaraan sambil berdoa. Sampai sekarang saya tertawa kalau mengingat kisah tersebut. Can’t watch!  Tetapi itulah harapan.  Kalau kondisi sekarang, apa harapan saya? Tentu hal-hal yang lebih besar seperti ingin rumah cepat selesai, ingin mengumpulkan tulisan-tulisan saya menjadi sebuah buku dan terpajang di rak Gramedia, ingin peserta training memahami dengan baik apa yang saya sampaikan ketika saya mengajar dan materi yang saya berikan memberikan inspirasi bagi mereka untuk melakukan. Harapan itu mampu membuat saya terjaga dari kebosanan atau perasaan negatif yang seringkali membuat saya tidak termotivasi.
Saya pernah mengirimkan pesan kepada seorang teman yang suaminya menjadi korban pesawat Sukhoi. Isinya memohon maaf karena saya terlambat mendengar kabar dan berharap dia memiliki ketabahan. Sebelumnya saya sudah bersiap untuk mengucapkan belasungkawa atas meninggalnya sang suami tetapi seorang teman lulusan psikologi mengingatkan  agar saya jangan dulu mengucapkan belasungkawa karena mungkin yang bersangkutan masih menyimpan sebuah harapan bahwa suaminya akan pulang dengan selamat. Saya sedikit tertegun, tetapi saya ikuti sarannya. Ternyata benar, teman saya menjawab dengan mengatakan bahwa sampai sekarang belum ada kabar tentang suaminya dan mohon doa untuk keselamatannya.  Dia menganggap bahwa suaminya masih hidup meskipun kemungkinan itu sangat kecil bahkan hampir tidak ada karena pesawat hancur berkeping-keping. Tetapi masih ada harapan yang disimpan di dada walau sepertinya mustahil.  Saya percaya harapan tersebut membuat teman saya berdoa siang malam, memohon belas kasihan Tuhan. Setelah sekian hari waktu berjalan  akhirnya saya melihat status di handphone nya yang sudah menandakan kepergian sang suami. Harapannya pun sirna.
Ketika mengingat hal tersebut, saya menyadari bahwa di dalam kehidupan ini tentu banyak masalah dan kesusahan yang kita alami. Seringkali kita ingin lari menjauh. Tetapi ketika tidak ada pilihan, satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah bertahan dan menghadapinya dengan kekuatan yang ada serta menyimpan harapan bahwa semua itu akan berakhir. Harapan seperti sebuah api yang menyala di hati dan membuat kita termotivasi untuk terus melangkah. Seperti saat mabuk laut, seandainya tidak ada harapan untuk sampai ke daratan, tentu rasa putus asa akan menyerang dan membuat sendi-sendi kehidupan serasa lumpuh. Tetapi karena saya menyimpan harapan yang pasti, bahwa perjalanan akan berakhir dalam  3 jam, maka detik demi detik yang berjalan saya maknai sebagai langkah menuju kebebasan. Harapan membuat saya bertahan dan terus berjuang menghadapinya dengan kekuatan yang ada.
Harapan, bisa menjadi kenyataan tetapi terkadang luput dari yang kita inginkan. Ketika harapan itu tidak berjalan sebagaimana adanya, kita harus belajar menerimanya dengan kebesaran hati. Saya berharap, apapun harapan yang anda miliki saat ini, semoga anda bisa menggapainya dan menyadari bahwa harapan membuat kita antusias menjalani hari-hari yang ada. Peristiwa mabuk laut selama 3 jam memberi banyak kisah untuk dibagikan. Bertahan, menghadapi kesulitan, dan menyimpan harapan, menjadi sebuah formula kehidupan yang saya dapatkan. Sungguh unforgettable moment...... Selamat merangkai harapan, dan berjalan bersamanya sehingga anda mampu bertahan dalam menghadapi setiap kesulitan yang ada. Enjoy every time in your life, because of hope. Yes, just a hope....

No comments:

Post a Comment