Kebahagiaan yang sejati adalah tanpa sebab, demikian menurut Anthony de Mello, seorang Pastor Jesuit keturunan India dalam bukunya Awareness. Anda tidak dapat membuat saya bahagia, karena Anda bukanlah kebahagiaan saya. Kebahagiaan merupakan diri kita yang alami. Kita tidak perlu melakukan apapun untuk memperoleh kebahagiaan karena itu sudah ada di dalam diri kita. Tetapi mengapa kita tidak mengalami kebahagiaan? Karena untuk mengalaminya kita harus melepaskan ilusi kita. Selama ini di dalam hidup, kita mengidentifikasikan diri dengan segala macam label yang kita lekatkan. Secara ekstrim Anthony menyampaikan bahwa kehidupan kita seperti boneka yang bergerak karena benang yang mengendalikannya disentakkan. Kita membiarkan kejadian dan orang-orang di sekeliling kita menentukan bagaimana perasaan kita, padahal tidak ada yang mampu menyakiti atau melukai diri kita, tidak ada!
Saya terpesona dengan tulisan Anthony de Mello akhir-akhir ini. Padahal sebenarnya buku-buku yang saya baca adalah buku lama yang sudah saya beli bertahun-tahun yang lalu. Tetapi kenginan untuk menyegarkan otak dengan butir-butir pencerahan membuat saya membongkar lemari buku untuk membacanya ulang. Apa yang disampaikan Anthony seringkali bertentangan dengan pendapat umum dan menyentak otak saya untuk merestart program yang sudah tertanam lama. Konsep tentang kebahagiaan menjadi sangat sederhana, tetapi butuh keberanian untuk “bangun” dari tidur dan menjadi sadar. Seringkali saya merasa hidup begitu sulit dan penuh beban, tetapi dengan sangat dalam Anthony mengatakan bahwa hidup itu sederhana dan mudah, penuh dengan kegembiraan. Hidup terasa sulit ketika kita dikuasai oleh ilusi, ambisi, keserakahan, dan kebutuhan yang mencekam. Pernyataan ini tentu sulit diterima begitu saja. Jelas-jelas hidup itu penuh tekanan, rintangan, dan hambatan, bagaimana mungkin dikatakan bahwa hidup itu sederhana dan mudah?
Saya tidak mencoba untuk mendebat, karena saya sedang mengosongkan gelas saya dan mengisinya ulang dengan air yang baru. Mencerna, mengunyah, dan memahaminya pelan-pelan, seperti seorang bayi yang belajar menikmati beragam makanan. Meskipun kontradiktif dengan pandangan yang selama ini terekam di otak saya, tetapi saya mengakui kebenarannya dan mendapat sesuatu yang sangat bernilai. Saya pernah melontarkan pertanyaan mengenai “Apakah Anda bahagia?” kepada beberapa orang teman yang kemudian meresponnya segera. Ada yang berbahagia karena memiliki pekerjaan baik dan uang cukup, berbahagia karena keluarga, berbahagia karena memiliki suami atau istri yang baik, berbahagia karena bekerja sesuai passion, berbahagia karena memiliki komunitas dan teman-teman yang mendukung. Saya rasa semua alasan mengenai kebahagiaan itu benar dan masuk akal. Setiap orang akan mengejar kebahagiaan, karena itulah esensi utama dalam hidup kita. Apa jadinya hidup tanpa kebahagiaan, tidak ada artinya! Tetapi secara tegas Anthony de Mello mengatakan bahwa kebahagiaan itu tidak perlu dikejar karena sudah ada di dalam diri kita. Label yang kita lekatkan di dalam diri sendiri lah yang justru menghambat kebahagiaan itu. Label bahwa saya tidak bahagia karena saya hanyalah bawahan, label bahwa saya tidak bahagia karena pekerjaan saya tidak menyenangkan, label bahwa saya tidak bahagia karena saya tidak mendapat apa yang saya inginkan, label bahwa saya tidak bahagia karena saya tidak terkenal, label bahwa saya tidak bahagia karena saya tidak memiliki orang yang saya cintai. Semua label itu adalah kelekatan yang harus dilepaskan, baru kita merasakan kebahagiaan.
Saya mencoba mengoreksi diri saya sendiri dengan menanyakan “Apakah saya bahagia?” dan ternyata sangat sulit menjawabnya. Sederet alasan melintas di benak saya, mulai dari ketidakpuasan kerja karena merasa belum mendapatkan apa yang diinginkan, kekecewaan karena merasa “stuck” dan tidak ada lompatan kemajuan di usia saya yang sekarang, sampai kegundahan karena impian yang belum tercapai. Dulu saya berpikir bahwa kebahagiaan terletak pada pekerjaan, sehingga kalau saya sudah mendapatkan pekerjaan yang saya inginkan, maka saya akan berbahagia. Saya meletakkkan kebahagiaan pada orang, sehingga ketika saya mencintai dan dicintai maka saya berbahagia. Saya juga meletakkan kebahagiaan pada benda, sehingga kalau saya bisa membeli rumah, mobil, gadget terbaru, maka saya bahagia. Tetapi ternyata itu semua ilusi. Saya mendefinisikan kebahagiaan sebagai sesuatu yang akan saya dapatkan setelah saya memiliki semua pencapaian yang saya inginkan dalam hidup saya. Saya menjadi seperti boneka yang membiarkan situasi, kejadian, atau orang menentukan “kebahagiaan” saya. Saya seperti tidak hidup secara utuh karena saya terjebak dengan ketakutan dan kecemasan yang menghantui. Itu semua mencuri kebahagiaan yang semestinya sudah ada di dalam diri dan tinggal saya alami, sehingga ketika ada orang bertanya kepada saya “Apakah saya bahagia?”, saya dapat menjawab, “Mengapa tidak?”. Tidak perlu ada istilah “pencarian kebahagiaan”, “pursuit of happiness,” dan sejenisnya karena kebahagiaan tidak perlu dicari atau dikejar!
Saya membuka buku kehidupan untuk mencari perbandingan, dan di situ dikatakan “Yang berbahagia adalah yang mendengarkan Firman Allah dan melakukannya di dalam kehidupan sehari-hari.” Kalau saya rangkaikan, kebahagiaan itu sudah ada di dalam diri kita, tetapi kita tidak akan mengalaminya ketika kita terikat oleh label. Kebahagiaan juga tidak muncul kalau kita menutup mata dan telinga dari buku kehidupan dan berjalan dengan ilusi, ambisi, dan keinginan diri. Kebahagiaan sejati adalah tanpa sebab, karena tidak ada seorangpun atau apapun di dunia ini yang bisa menjadi penyebab mengapa Anda berbahagia atau tidak. Kebahagiaan ada di tangan kita sendiri, ketika kita mau menyangkal diri dan melakukan Firman Allah, bukan ketika kita “menjadi orang hebat” versi dunia, kaya, terkenal, memiliki segalanya, karena itu adalah semu. Umpan baliknya adalah, ketika kebahagiaan kita alami, maka apa pun yang kita kerjakan akan kita lakukan dengan kebahagiaan juga. Dan kalau itu terjadi, Anda tentu sudah menebak hasilnya. Sesuatu yang dikerjakan dengan kebahagiaan, suka cita, kegembiraan, tentu akan bedampak positif baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Dan di saat itulah kebahagiaan kita semakin lengkap, ketika kita memilikinya dan orang lain juga merasakan pancaran yang keluar dari diri kita, sehingga mereka pun akan tertarik dan melakukan hal yang sama.
Selamat membuka pintu kebahagiaan Anda masing-masing (yang sudah ada dan terpendam). Kuncinya sederhana, melepaskan label diri dan menjalankan Firman Allah. Itulah kebahagiaan sejati, tanpa ternoda atau terintimidasi oleh apapun juga. Saya sedang dalam proses menyelami, jatuh bangun, dan berharap mendapatkannya segera, semoga Anda juga!
Saya terpesona dengan tulisan Anthony de Mello akhir-akhir ini. Padahal sebenarnya buku-buku yang saya baca adalah buku lama yang sudah saya beli bertahun-tahun yang lalu. Tetapi kenginan untuk menyegarkan otak dengan butir-butir pencerahan membuat saya membongkar lemari buku untuk membacanya ulang. Apa yang disampaikan Anthony seringkali bertentangan dengan pendapat umum dan menyentak otak saya untuk merestart program yang sudah tertanam lama. Konsep tentang kebahagiaan menjadi sangat sederhana, tetapi butuh keberanian untuk “bangun” dari tidur dan menjadi sadar. Seringkali saya merasa hidup begitu sulit dan penuh beban, tetapi dengan sangat dalam Anthony mengatakan bahwa hidup itu sederhana dan mudah, penuh dengan kegembiraan. Hidup terasa sulit ketika kita dikuasai oleh ilusi, ambisi, keserakahan, dan kebutuhan yang mencekam. Pernyataan ini tentu sulit diterima begitu saja. Jelas-jelas hidup itu penuh tekanan, rintangan, dan hambatan, bagaimana mungkin dikatakan bahwa hidup itu sederhana dan mudah?
Saya tidak mencoba untuk mendebat, karena saya sedang mengosongkan gelas saya dan mengisinya ulang dengan air yang baru. Mencerna, mengunyah, dan memahaminya pelan-pelan, seperti seorang bayi yang belajar menikmati beragam makanan. Meskipun kontradiktif dengan pandangan yang selama ini terekam di otak saya, tetapi saya mengakui kebenarannya dan mendapat sesuatu yang sangat bernilai. Saya pernah melontarkan pertanyaan mengenai “Apakah Anda bahagia?” kepada beberapa orang teman yang kemudian meresponnya segera. Ada yang berbahagia karena memiliki pekerjaan baik dan uang cukup, berbahagia karena keluarga, berbahagia karena memiliki suami atau istri yang baik, berbahagia karena bekerja sesuai passion, berbahagia karena memiliki komunitas dan teman-teman yang mendukung. Saya rasa semua alasan mengenai kebahagiaan itu benar dan masuk akal. Setiap orang akan mengejar kebahagiaan, karena itulah esensi utama dalam hidup kita. Apa jadinya hidup tanpa kebahagiaan, tidak ada artinya! Tetapi secara tegas Anthony de Mello mengatakan bahwa kebahagiaan itu tidak perlu dikejar karena sudah ada di dalam diri kita. Label yang kita lekatkan di dalam diri sendiri lah yang justru menghambat kebahagiaan itu. Label bahwa saya tidak bahagia karena saya hanyalah bawahan, label bahwa saya tidak bahagia karena pekerjaan saya tidak menyenangkan, label bahwa saya tidak bahagia karena saya tidak mendapat apa yang saya inginkan, label bahwa saya tidak bahagia karena saya tidak terkenal, label bahwa saya tidak bahagia karena saya tidak memiliki orang yang saya cintai. Semua label itu adalah kelekatan yang harus dilepaskan, baru kita merasakan kebahagiaan.
Saya mencoba mengoreksi diri saya sendiri dengan menanyakan “Apakah saya bahagia?” dan ternyata sangat sulit menjawabnya. Sederet alasan melintas di benak saya, mulai dari ketidakpuasan kerja karena merasa belum mendapatkan apa yang diinginkan, kekecewaan karena merasa “stuck” dan tidak ada lompatan kemajuan di usia saya yang sekarang, sampai kegundahan karena impian yang belum tercapai. Dulu saya berpikir bahwa kebahagiaan terletak pada pekerjaan, sehingga kalau saya sudah mendapatkan pekerjaan yang saya inginkan, maka saya akan berbahagia. Saya meletakkkan kebahagiaan pada orang, sehingga ketika saya mencintai dan dicintai maka saya berbahagia. Saya juga meletakkan kebahagiaan pada benda, sehingga kalau saya bisa membeli rumah, mobil, gadget terbaru, maka saya bahagia. Tetapi ternyata itu semua ilusi. Saya mendefinisikan kebahagiaan sebagai sesuatu yang akan saya dapatkan setelah saya memiliki semua pencapaian yang saya inginkan dalam hidup saya. Saya menjadi seperti boneka yang membiarkan situasi, kejadian, atau orang menentukan “kebahagiaan” saya. Saya seperti tidak hidup secara utuh karena saya terjebak dengan ketakutan dan kecemasan yang menghantui. Itu semua mencuri kebahagiaan yang semestinya sudah ada di dalam diri dan tinggal saya alami, sehingga ketika ada orang bertanya kepada saya “Apakah saya bahagia?”, saya dapat menjawab, “Mengapa tidak?”. Tidak perlu ada istilah “pencarian kebahagiaan”, “pursuit of happiness,” dan sejenisnya karena kebahagiaan tidak perlu dicari atau dikejar!
Saya membuka buku kehidupan untuk mencari perbandingan, dan di situ dikatakan “Yang berbahagia adalah yang mendengarkan Firman Allah dan melakukannya di dalam kehidupan sehari-hari.” Kalau saya rangkaikan, kebahagiaan itu sudah ada di dalam diri kita, tetapi kita tidak akan mengalaminya ketika kita terikat oleh label. Kebahagiaan juga tidak muncul kalau kita menutup mata dan telinga dari buku kehidupan dan berjalan dengan ilusi, ambisi, dan keinginan diri. Kebahagiaan sejati adalah tanpa sebab, karena tidak ada seorangpun atau apapun di dunia ini yang bisa menjadi penyebab mengapa Anda berbahagia atau tidak. Kebahagiaan ada di tangan kita sendiri, ketika kita mau menyangkal diri dan melakukan Firman Allah, bukan ketika kita “menjadi orang hebat” versi dunia, kaya, terkenal, memiliki segalanya, karena itu adalah semu. Umpan baliknya adalah, ketika kebahagiaan kita alami, maka apa pun yang kita kerjakan akan kita lakukan dengan kebahagiaan juga. Dan kalau itu terjadi, Anda tentu sudah menebak hasilnya. Sesuatu yang dikerjakan dengan kebahagiaan, suka cita, kegembiraan, tentu akan bedampak positif baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Dan di saat itulah kebahagiaan kita semakin lengkap, ketika kita memilikinya dan orang lain juga merasakan pancaran yang keluar dari diri kita, sehingga mereka pun akan tertarik dan melakukan hal yang sama.
Selamat membuka pintu kebahagiaan Anda masing-masing (yang sudah ada dan terpendam). Kuncinya sederhana, melepaskan label diri dan menjalankan Firman Allah. Itulah kebahagiaan sejati, tanpa ternoda atau terintimidasi oleh apapun juga. Saya sedang dalam proses menyelami, jatuh bangun, dan berharap mendapatkannya segera, semoga Anda juga!
No comments:
Post a Comment