Setahun yang lalu di bulan yang sama saya menyelesaikan studi S2. Rasanya waktu berlalu begitu cepat. Maka ketika seorang teman kuliah menelepon saya untuk menanyakan tesis, saya sedikit terhenyak karena ternyata masih banyak teman seangkatan yang belum selesai sampai saat ini. Saya tahu bukan karena mereka tidak mampu, tetapi karena kesibukan yang sangat menyita waktu. Saya teringat saat perkuliahan, mereka adalah orang-orang cerdas yang selalu mampu membuat diskusi menjadi menarik dan penuh wawasan. Jadi sebenarnya tanpa selesai-pun, bagi saya mereka sudah layak menyandang gelar MBA. Masalahnya karena sekolah adalah sebuah jenjang akademik dengan berbagai peraturan, dan untuk mencapai gelar tertentu harus melewati serangkaian ujian, maka bagaimanapun juga setiap orang yang sudah berkomitmen mengambil jenjang pendidikan tersebut harus melewatinya.
Pendidikan adalah aktivitas yang terus berkelanjutan, baik formal maupun informal. Pendidikan formal merujuk kepada jenjang pendidikan dari SD sampai Universitas, yang bertingkat lagi menjadi S1, S2, dan S3. Informal merujuk kepada kursus, pelatihan, training, dan sebagainya. Untuk pekerjaan yang berkaitan dengan keilmuan, seperti guru, dosen, jenjang pendidikan formal menjadi syarat utama. Seorang dosen yang mengajar S1, tidak cukup lagi hanya bergelar S1 tetapi harus S2. Dosen yang mengajar S2, minimal harus berpendidikan S3, begitu seterusnya. Hal ini dimaksudkan agar lulusan yang ada menjadi lebih berkualitas, karena diajar oleh pengajar yang “berkualitas”, terbukti dari gelar yang mereka miliki.
Kenyataan tersebut membuat saya bertanya, apakah benar gelar menunjukkan kualitas seseorang? Semestinya begitu. Ketika mengambil kuliah Magister Manajemen, saya bertujuan agar kualifikasi saya meningkat, paling tidak kalau suatu ketika saya merasa sudah saatnya untuk pindah kerja. Maka dengan gelar MBA di belakang, dan masih menempelnya gelar dokter (dr) di depan nama saya, saya merasa akan lebih menjual. Kalau bahasa marketingnya, ada nilai tambah (added value) yang saya miliki, sehingga saya memiliki keunggulan kompetitif dibanding orang lain. Yah, anggap saja seperti ayam goreng Kolonel Sanders, yang harganya bisa 2x lipat dari ayam goreng kaki lima. Sama-sama ayam goreng, tapi valuenya berbeda.
Tambahan gelar tentu menimbulkan rasa bangga bagi pemiliknya, tetapi sesungguhnya gelar tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan, maksudnya ada dampak positif ke masyarakat dengan kita menyandang gelar tersebut. Harus diakui bahwa masyarakat kita sangat menjunjung tinggi gelar. Orang dengan jenjang lebih tinggi akan sangat dihargai dan dihormati, dianggap terpandang, dan memiliki kemampuan lebih yang tidak dimiliki orang lain. Pertanyaannya adalah, apakah selalu begitu? Idealnya iya, karena bagaimanapun, gelar tersebut diraih bukan tanpa usaha yang mudah tetapi penuh perjuangan. Sehingga sudah seharusnya orang yang memiliki tempelan gelar memiliki cara berpikir dan bersikap yang lebih bijaksana dan lebih mampu menjawab tantangan zaman.
Saya sering berpikir, bahwa orang akan memiliki respek berbeda ketika mereka mengetahui gelar yang kita miliki. Saya mengalaminya beberapa waktu yang lalu ketika akan mengadakan pelatihan di sebuah Rumah Sakit di Bekasi. Seperti biasa satu hari sebelum pelatihan, saya mengadakan survey ke rumah sakit tersebut untuk mengkonfirmasi Traning Need Analysis yang sudah diberikan, apakah memang itu yang dibutuhkan atau mungkin ada tambahan. Karena hanya memperkenalkan nama tanpa embel-embel lain, tuan rumah yang sudah senior (baca: tua), menerima saya dengan biasa-biasa saja. Bukan berarti saya ingin disambut bak pahlawan, tapi kita akan merasa apakah seseorang menaruh penghargaan kepada kita atau tidak. Dalam perbincangan formal sehari-hari, sudah wajar kalau orang yang lebih tua akan memanggil nama kepada kita atau panggilan sopan dengan menambahkan embel-embel mas atau mbak. Demikian pula tuan rumah tersebut memanggil saya dengan panggilan “Mbak”. Tetapi semua berubah ketika keesokan harinya, saat pelatihan saya memperkenalkan diri melalui curriculum vitae. Tuan rumah yang kemarin memanggil saya “Mbak”, mendadak berubah sikap dan memanggil saya “Ibu Dokter” dengan penuh rasa hormat. Dalam hati saya tersenyum, ternyata benar, orang Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh hal-hal luar, termasuk gelar yang disandang, sehingga semua itu mempengaruhi penilaian mereka terhadap seseorang. Seandainya saya tidak menyebutkan curriculum vitae, mungkin sikap beliau tidak berubah.
Pada kenyataannya saya sedang berusaha untuk tidak terikat pada gelar-gelar itu, tetapi bagaimana saya memunculkan kualitas yang dapat dilihat orang tanpa mereka perlu tahu embel-embel saya, karena sejujurnya itulah yang terpenting, kemampuan diri yang sesuai dengan gelarnya, dan bukan gelar itu sendiri. Jadi tidak ada gunanya membanggakan diri. Bukankah begitu?
Kalau pujangga Shakespeare bertanya apalah artinya sebuah nama, saya sedang bertanya-tanya apalah artinya sebuah atau lebih gelar di depan atau belakang nama kita kalau itu tidak diimbangi dengan tindakan nyata. Bukan panjangnya gelar yang diperlukan, tetapi apakah gelar tersebut membuat orang yang memakainya lebih bermanfaat bagi masyarakat atau tidak. Banyak orang dengan embel-embel gelar panjang, ternyata melakukan hal-hal yang tidak pantas untuk dilakukan, tetapi orang yang tanpa gelar melakukan banyak hal bagi masyarakat di sekitarnya. Gelar merujuk kepada IQ, sedangkan kualitas seseorang tidak hanya ditentukan oleh IQ. Justru dalam kehidupan bermasyarakat, emotional quotient atau kecerdasan emosional memegang peranan sangat penting.
Saya teringat cerita Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence. Dikisahkan bahwa diadakan eksperimen terhadap anak-aanak TK di kampus Stanford University. Dalam eksperimen tersebut, masing-masing anak-anak TK berumur empat tahun diberikan 1 kantong marshmallow (sejenis manisan kenyal bertekstur lembut). Peneliti kemudian menjelaskan bahwa dia akan pergi sebentar meninggalkan anak-anak itu. Kalau anak-anak tersebut mampu menahan diri untuk tidak makan marshmallow sampai peneliti datang kembali, mereka akan mendapat tambahan 1 kantong, sehingga totalnya mendapat 2 kantong. Tetapi kalau mereka tidak tahan dan ingin segera memakannya tanpa menunggu peneliti datang, mereka hanya akan mendapat 1 kantong. Anak-anak yang ingin mendapat 2 kantong berusaha keras mengalihkan perhatiannya dari masrshmallow, ada yang meletakkan kepala di lengannyanya, menutup mata, menari, menyanyi, dan sebagainya. Tujuannya agar tidak tergoda untuk makan marshmallow sampai peneliti datang kembali sekitar 20 menit kemudian. Waktu yang cukup lama bagi seorang anak TK dengan iming-iming manisan enak di depannya. Evaluasi dilanjutkan sampai anak-anak tersebut lulus SMU dan melanjutkan ke universitas. Dari hasil penelitian didapatkan fakta bahwa anak-anak yang berusaha keras menahan diri tidak makan marshmallow sampai peneliti datang, tumbuh menjadi orang-orang yang lebih tangguh dalam kehidupannya, dan mampu menunda pemuasan demi mengejar tujuan. Tetapi anak-anak TK yang tidak sabaran dan segera memakan marshmallow begitu peneliti keluar ruangan, tumbuh menjadi orang-orang yang memiliki gambaran psikologis lebih merepotkan, cenderung menjauhi hubungan sosial, keras kepala, peragu, mudah kecewa, menganggap diri tidak berharga, dan tidak mampu menunda pemuasan untuk suatu tujuan tertentu. Dari situ diambil kesimpulan, bahwa kecerdasan emosional sangat berperan dalam kehidupan seseorang.
Jadi saya berkesimpulan, gelar saja tidak cukup, karena apalah artinya orang pandai tetapi memiliki kecerdasan emosional yang rendah. Kalau begitu apakah berarti gelar tidak berguna? Tidak juga, karena bagaimanapun orang akan berusaha meraih jenjang pendidikan yang lebih tinggi untuk meningkatkan kualitasnya. Selain itu lowongan pekerjaan juga mensyaratkan pelamarnya untuk memenuhi kualifikasi yang terkait dengan tingkat pendidikan tertentu. Pertanyaannya, sesuaikah gelar yang kita miliki dengan kemampuan yang ada? Seharusnya sesuai, harapannya seperti itu. Karena itulah saya paling malas mencantumkan gelar “dokter” di depan nama saya, karena merasa bahwa saat ini saya sudah tidak memiliki kualifikasi tersebut, baik keilmuan maupun secara praktek. Tetapi untuk kepentingan marketing, saya mengalah dengan tetap mencantumkannya di depan nama saya, yang terbukti memang manjur! Paling tidak untuk orang-orang yang sangat terpengaruh dengan gelar. Tetapi apakah itu membuat saya bangga? Sama sekali tidak. Trus bagaimana? Yah, sekali lagi hidup kita tidak tergantung gelar yang kita punya. Saya setuju kalau pendidikan sangat diperlukan dan merupakan salah satu syarat untuk mencapai kesuksesan hidup. Tetapi kenyataan menunjukkan banyak orang meraih sukses tanpa memiliki gelar. Andrie Wongso-motivator, Purdi E Chandra-pendiri Primagama, Andy F. Noya-host Kick Andy, Emha Ainun Najib-agamawan/budayawan, adalah sedikit dari orang-orang yang sukses tanpa gelar. Saya percaya, salah satu modal mereka adalah kecerdasan emosional seperti yang disebutkan Goleman, yang mencakup pengendalian diri, semangat, ketekunan, dan kemampuan memotivasi diri.
Jadi sekarang, kalau kita tenggelam oleh kebanggaan akan gelar yang kita punya, saatnya merenung, apakah kita sudah berdampak ke orang lain dengan gelar tersebut? Jangan-jangan dengan atau tanpa gelar pun, perbuatan kita tidak berdampak apa-apa bagi kebaikan orang lain. Wah, kalau begitu, itu pertanda lampu kuning untuk segera mawas diri. Mudah-mudahan hal ini tidak terjadi pada saya dan anda, yang termasuk orang-orang yang lebih mementingkan kualitas dan makna dibalik gelar dibanding gelar itu sendiri. Semoga!
No comments:
Post a Comment