Tuesday, March 22, 2011

Sempurna?

Mengejar kesempurnaan ternyata bisa berakhir tragis. Itulah yang ingin disampaikan oleh film Black Swan yang memotret dengan sangat bagus sisi psikologis manusia yang terobsesi dengan kesempurnaan, sampai harus mengorbankan hidupnya hanya demi kata “sempurna”. Black Swan menceritakan kisah seorang penari balet, Nina, yang penuh obsesi untuk mengejar peran prestisius dalam opera “Swan Lake”, dimana dia harus berperan sebagai White Swan dan Black Swan, dua karakter yang sangat berbeda. White Swan menggambarkan sosok lembut dan tidak berdaya, sedangkan Black Swan merupakan potret ambisi dan kejahatan. Keinginan mengejar kesempurnaan peran dan ketakutan berlebihan terhadap ketatnya persaingan dengan penari lain ternyata berujung depresi dan tindakan mencelakai diri sendiri. Peran yang seharusnya dibawakan dengan penuh kebahagiaan, berubah menjadi beban maha besar yang sangat menekan dan menghancurkan jati diri. Ketidakmatangan jiwa dan obsesi berlebihan hanya akan melahirkan kesia-siaan, diakhiri dengan dua pilihan: gila atau pergi selamanya.
Merujuk pada buku Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa karya W.F Maramis, pribadi yang terobsesi pada kesempurnaan digolongkan dalam gangguan kepribadian anankastik atau obsesif-kompulsif. Ciri utama kepribadian tersebut adalah perfeksionisme, keteraturan, kaku, pemalu, dan pengawasan diri yang tinggi. Ia sangat prihatin dengan konformitas, menganut norma-norma etik dan moral yang tinggi, serta patuh secara berlebihan. Menurut psikolog klinis yang juga dosen Universitas Airlangga, Dra Hamidah, MSi seperti terdapat pada tabloid Kontras, Juni 2010, gangguan kepribadian obsesif kompulsif muncul karena pola asuh yang otoriter, penuh dengan larangan, kritik, dan celaan atau bersifat memaksa. Pola asuh demikian menyebabkan seseorang berkembang dalam situasi yang tidak menyenangkan.
Black Swan memotret kepribadian tersebut dengan sangat baik, menjadikannya sebuah film yang sarat dengan ketegangan psikologis dan mengajak penonton terlibat secara emosi mengikuti aliran batin pemeran utamanya yang diperankan dengan luar biasa oleh Natalie Portman. Tidak mengherankan kalau tahun ini dia mendapatkan Piala Oscar untuk perannya sebagai Nina di film tersebut. Bagi saya, Natalie bermain sungguh total, dan benar-benar menghidupkan peran seorang ambisius yang terobsesi dengan kesempurnaan. Nina mencerminkan seorang obsesif kompulsif yang kaku, pemalu, anti sosial, tetapi menyimpan ambisi yang siap meledak ketika terancam. Dibesarkan oleh seorang Ibu yang juga obsesif dan protektif, Nina tumbuh dengan kepribadian yang tidak matang dan tidak siap dengan persaingan. Film ini penuh dengan adegan yang terkadang membingungkan apakah kejadiannya sungguh nyata atau hanya permainan pikiran sang pemeran utama yang sedang mengalami halusinasi karena kecemasannya. Film yang perlu ditonton dengan “cukup” serius, karena tidak berisi rentetan adegan yang terus berkesinambungan secara teratur.
Menonton Black Swan serasa dihadapkan dengan sebuah cermin yang membuat saya harus berkaca dan menjenguk batin yang paling dalam. Serasa menguliti diri sendiri betapa selama ini saya melakukan hal yang sama dalam konteks yang berbeda, seakan tidak menyadari bahwa kita hidup di dunia yang memang tidak sempurna. Membayangkan keruwetan Jakarta yang semakin sesak, lalu mengomel panjang lebar, melihat jalan-jalan yang semakin sempit karena penuh dengan pedagang kaki lima, dan kembali mengomel. Berkendara di jalanan, bersaing dengan pengendara motor yang suka seenaknya, melawan kenekatan metromini dan kopaja, benar-benar menantang keberanian, dan membuat saya mengomel terus menerus. Setiap menit, jam, hari, kondisi tidak semakin baik tetapi semakin parah. Hal ini membuat saya kecewa terhadap orang-orang yang saya anggap tidak mau mengerti orang lain, mementingkan diri sendiri, membuat saya frustrasi dan merasa hidup di sebuah kota yang sangat buruk.
Ketika saya membayangkan sebuah kota yang damai, teratur, tidak macet, penduduknya saling menghargai dan menghormati kepentingan orang lain, tidak ingin menang sendiri, membawa saya pada sebuah obsesi kesempurnaan kota dan hidup bertetangga yang ternyata masih jauh dari yang saya harapkan. Dan ketika harapan tersebut tidak terpenuhi, saya menjadi terluka. Terobsesi pada suatu hal yang berada di luar kemampuan dan wewenang, membuat saya sering terjebak dalam kemarahan. Benar juga, kondisi Jakarta dan kemacetannya menimbulkan tekanan yang begitu besar bagi penghuninya.
Seorang teman menasihati saya bahwa tidak ada gunanya bersikap naif dengan kondisi yang ada. Ketika jalan-jalan kampung menjadi semakin sempit oleh warung tenda yang terus bermunculan (bahkan untuk masuk ke garasi rumah sendiri menjadi penuh perjuangan), ketika saya merasa “mereka” hanya mementingkan diri sendiri dan tidak peduli pada orang lain, dan ketika saya mulai kecewa, kendali terhadap diri seringkali hilang dan saya menjadi orang yang sungguh obsesif, tanpa ada solusi yang nyata. Teman saya dengan bijak mengatakan, bahwa yang bisa kita lakukan adalah bersabar, dan bagaimana bisa menjadi terang di tengah masyarakat seperti itu. Menyadari bahwa sebagian besar masyarakat kita masih belum dewasa, uneducated, sudah sewajarnya kita yang educated bersikap lebih bijaksana. Apalagi kalau kita hidup di daerah perkampungan yang bukan perumahan high class, rasa “tepo seliro”atau saling menghargai satu sama lain ternyata menjadi menu utama. Yang menyakitkan adalah terkadang tetangga-tetangga justru seenaknya sendiri dan tidak tahu tata krama.
Teman saya mencontohkan kondisi rumahnya yang berada di tengah kampung, dan kebetulan dia tinggal sendiri. Sering sekali tanpa izin, tetangga menaruh motor di garasinya, atau bermain catur di halaman rumahnya tanpa rasa sungkan. Di dalam hati sebenarnya dia sangat jengkel, tetapi karena menyadari dia tinggal sendiri, hidup di kampung, dan membutuhkan tetangga-tetangga tersebut, maka dia menyikapinya dengan santai dan enjoy saja. Yang penting mereka tidak mengganggu dan ikut menjaga rumahnya. Sejujurnya saya kagum dan tidak habis pikir dengan sikapnya yang santai tersebut, karena bagi saya orang-orang itu sungguh tidak mengerti sopan santun. Tetapi setelah mempertimbangkan alasannya, dan menyadari apa yang saya alami dengan segala pikiran “kesempurnaan” yang melekat pada diri saya, saya mengerti bahwa sikap itulah yang paling ideal untuk hidup di kota ini.
 Saya teringat pepatah Jawa, “sing waras ngalah”, artinya yang merasa sehat (waras-tidak gila) sebaiknya mengalah. Dalam kondisi tertentu saya harus mengakui pepatah tersebut ada benarnya, yang penting tidak merugikan kita, karena ternyata hidup dengan dipenuhi perasaan obsesif dan mengejar kesempurnaan hanya membuat saya kelelahan dan kehabisan energi.
Saya memiliki pengalaman dengan orang yang mengejar kesempurnaan, hanya karena terobsesi ingin bersaing dan melebihi saya, sehingga berujung pada iri hati dan kekecewaan. Dalam hati saya bertanya-tanya, ngapain juga ingin menyaingi saya, kenapa tidak mencari role model yang jauh lebih hebat yang banyak terdapat di luar sana? Pertemanan menjadi retak, karena dibangun di atas dasar persaingan yang tidak sehat dan saya tidak mau berurusan lagi dengannya karena merasa tidak ada energi positif yang bisa dipetik dari pertemanan tersebut.
Belajar dari Black Swan, kondisi Jakarta, dan pengalaman pertemanan yang retak, mengajarkan saya bahwa kepribadian obsesif kompulsif hanya akan membawa saya pada kehancuran karakter. Kita berada di dunia yang tidak sempurna, teman-teman yang tidak sempurna, pasangan yang tidak sempurna, pekerjaan yang tidak sempurna, hidup yang tidak sempurna, karena memang kesempurnaan hanya milik Dia, yang menciptakan dunia yang mula-mula sempurna, tetapi menjadi tidak sempurna karena perbuatan ciptaannya. Mengejar kesempurnaan tanpa mengingat sang Pencipta, hanya akan berakhir sia-sia dan membuat jiwa terasa hampa. Apakah anda dan saya tetap menginginkannya?


No comments:

Post a Comment