Tuesday, April 12, 2011

tentang kegagalan


Ini cerita tentang kegagalan dari sebuah kejadian yang sangat sederhana dan sebenarnya memalukan untuk diceritakan. Tetapi atas nama cinta, saya berusaha untuk tetap menuliskannya. Dua minggu yang lalu saya menghadapi ujian gitar untuk naik ke level 3. Sejujurnya saya sangat tidak siap dan tidak berlatih sama sekali menghadapi ujian ini karena harus ke luar kota. Bahkan 1 hari sebelum ujian saya juga tidak berlatih karena pulang sangat larut dari Tasikmalaya. Sebenarnya saya sudah merasa tidak enak dan ingin mengajukan agar ujian diundur, tetapi karena terlanjur mendaftar ujian untuk hari itu saya tetap datang dengan bermodal dengkul. Saya cuma belajar sebentar di pagi hari dan berangkat tanpa senjata apa-apa ke medan perang. Istilahnya bonek, “bondo nekat” meskipun tidak nekat juga karena sejujurnya saya sangat gugup dan tertekan. Dalam hati saya berpikir, “gila, kursus gitar kan saya sendiri yang milih, kenapa jadi stres begini?” Dan terjadilah apa yang saya takutkan! Karena panik dan merasa tanpa persiapan, saya benar-benar tidak bisa bermain dengan baik. Beberapa instruksi dari penguji saya mainkan dengan salah. Sungguh, rasanya saya ingin berlari keluar dan segera menyudahi ujian tersebut. Malu sekali pada guru dan saya sendiri. Waktu 1 jam menjadi terasa lama, dan saya semakin tidak bisa berpikir dengan baik. Saya bisa melihat kekecewaan pada wajah guru saya tetapi saya tahu bahwa saya lebih kecewa lagi! Saya sadar bahwa saya tidak layak untuk naik tingkat dan tidak sepantasnya lulus, sehingga ketika ujian selesai dengan pasrah saya minta ujian ulangan di lain hari. Mirip “remediasi” untuk anak-anak sekolah yang nilai ulangannya jelek.
Selesai ujian saya berada pada atmosfer yang sangat buruk yang bahkan membuat saya berpikir untuk berhenti kursus karena malu, termasuk berhenti bermain gitar karena merasa tidak bisa. Saya merasa tidak berbakat, tidak ada gunanya lagi berlatih, dan semua hanya sia-sia. Konsep diri dan pemikiran negatif merasuki saya dan membuat saya berpikir ulang mengenai potensi dan kemampuan yang saya miliki. Saya berada pada titik terendah yang menggoyahkan kepercayaan diri saya. Dan yang mengejutkan, itu semua diawali hanya karena saya tidak bisa melalui ujian dengan baik! Meskipun berusaha menerima kenyataan bahwa semua terjadi karena saya tidak berlatih sama sekali, saya sangat sulit menerimanya. Hal ini tentu mengherankan, apalagi bagi orang-orang yang selama ini menganggap saya sangat optimis dan penuh semangat. Bagaimana mungkin “hanya” sebuah ujian gitar (yang bisa dianggap sangat tidak penting) bisa membuat saya begitu kecewa. Tetapi begitulah kenyataannya, dan saya membutuhkan beberapa hari untuk bangkit sebelum akhirnya dengan kesadaran penuh berangkat kursus lagi. Saya berusaha keras menempatkan kegagalan tersebut  pada proporsinyha, yaitu karena saya memang tidak berlatih, bukannya karena saya tidak bisa. Justru karena saya ingin bisa, saya mengambil kursus tersebut. Enteng, ringan, sederhana, tetapi menjadi rumit bagi saya. Mungkin karena saya terbiasa dengan keberhasilan saat ujian dari sekolah dasar sampai pasca sarjana, saya menjadi sulit menerima kegagalan ujian. Padahal itu semua disebabkan karena kesalahan saya sendiri. Saya terbiasa menerima kenyataan bahwa kadang-kadang dengan belajar sistem kebut semalam saya masih bisa mendapat nilai lumayan. Ya, tetapi saya sadar bahwa medannya sungguh berbeda. Ujian sekolah adalah knowledge, bukan skill. Skill perlu latihan, bahkan “harus” latihan. Bayangkan seseorang yang belajar berenang, secara knowledge dia tahu cara berenang, tetapi tanpa menceburkan diri ke kolam renang, menggerakkan kaki dan tangan, saya jamin sampai kapanpun tidak akan pernah bisa. Itu bedanya knowledge dan skill. Saya jadi teringat dengan istilah KSA – Knowledge-Skill-Attitude, yang sering digambarkan sebagai modal keberhasilan seseorang. Kalau tadi saya sudah menyinggung mengenai K dan S, maka huruf terakhir yaitu A, memiliki peran yang tidak kalah pentingnya bagi keberhasilan. Bahkan dikatakan keberhasilan seseorang sebagian besar ditentukan oleh attitudenya. Bisa jadi ini benar, karena seperti yang terjadi pada saya, bagaimana saya bisa mahir bermain gitar kalau gagal ujian seperti itu saja saya sudah berputus asa. Apalagi hal itu disebabkan karena saya tidak berlatih dan tidak mempersiapkan diri. Haram hukumnya!
Memandang kegagalan pada proporsinya, itu yang saya lakukan. Mengevaluasi kegagalan tersebut, memperbaiki proses dan terus berlatih dengan penuh kesadaran bahwa saya pasti akan menjadi lebih baik. Sesuatu yang sangat ringan bisa menjadi sangat berat ketika saya melihatnya dari sudut pandang yang salah.
Saya teringat buku yang pernah saya baca bertahun-tahun silam dari Richard Carlson,  Don’t Sweat the Small Stuff, jangan meributkan hal-hal kecil. Saya ingat judul bukunya, paham apa yang dimaksud, tetapi sangat lemah dalam pelaksanaan. Kalau meminjam bahasa manajemen, “lemah di eksekusi”. Istilahnya NARO, No Action Read Only, banyak membaca, sedikit mempraktekkan. Wah, kalau begini bisa bahaya, seperti cerita di Alkitab tentang seseorang yang membangun rumahnya di atas pasir. Begitu banjir datang, rumah tersebut langsung roboh karena pondasinya tidak kuat. Saya berpikir, boro-boro banjir, ini hanya gerimis, rumahnya sudah roboh.  Itu terjadi karena saya tidak mempraktekkan apa yang saya baca dan saya percaya. Kalau bahasa teologisnya: percaya, tetapi tidak melakukan. Beriman tetapi tanpa perbuatan, sehingga hasilnya  adalah mati, berakhir dengan kesia-siaan.
Mungkin saya terlalu jauh mengambil kesimpulan, tetapi saya hanya ingin berbagi setelah hari Minggu kemarin tanpa sengaja saya melihat kejuaraan ice skating di Mall Taman Anggrek. Sebenarnya  saya ingin melihat IT Fair yang berakhir hari itu, tetapi ternyata ada tontonan yang lebih menarik. Kejuaraan tersebut diikuti oleh beberapa negara: Indonesia, Malaysia, Filipina, Australia, Kanada, Swiss, USA, Inggris, dan Jepang. Saya tidak tahu persis dalam rangka apa, tetapi peserta lomba adalah anak kecil dan remaja. Mungkin saja kompetisi dari sekolah internasional, tetapi yang pasti, saya percaya bahwa mereka yang ikut lomba tentu sudah mempersiapkan diri dengan sangat baik. Terbukti dengan penampilan mereka yang indah, dan gerakan-gerakan yang menyatu dengan musiknya. Meskipun berjalan di atas es dan menggunakan sepatu khusus mereka seperti berjalan di atas tanah. Seandainya saya yang bermain ice skating, pasti berjalan tertatih-tatih dan terus berpegangan pada dinding karena takut tergelincir.
Saya memiliki keyakinan semua peserta sudah memberikan yang terbaik sebagai hasil latihan yang tidak kenal lelah. Tetapi inilah yang saya lihat, beberapa peserta tidak mulus menyelesaikan gerakan tariannya karena terjatuh. Tampak jelas kekecewaaan di wajah mereka, meskipun mereka tetap menyelesaikan gerakan sampai akhir. Bahkan saya yang menonton merasa terlibat secara emosional dan bersedih ketika mereka jatuh. Saya ikut berempati, menyadari bahwa mereka pasti sudah berlatih dengan sangat keras untuk ikut kejuaraan, tetapi ternyata masih juga mengalami kegagalan. Saya teringat dengan “insiden” ujian gitar, yang terjadi karena memang saya tidak berlatih tetapi menimbulkan kekecewaan mendalam pada diri saya. Bandingkan dengan peserta tersebut yang pasti sudah berlatih keras, tetapi masih juga mengalami kegagalan. Betapa dia jauh lebih kecewa! Berlatih keras saja bisa gagal, apalagi tidak berlatih! Jadi kalau saya gagal lalu mulai berpikir negatif bahwa memang saya tidak bisa, alangkah malunya. Apakah tidak ada hal yang lebih besar untuk dipikirkan daripada meributkan hal-hal kecil yang memang terjadi sebagai konsekuensi dari apa yang saya lakukan sebelumnya?
Kejuaraan ice skating tersebut memberikan pencerahan dan penyegaran bagi saya, terutama cara memandang sebuah kegagalan. Daripada meratap yang tiada guna, kenapa tidak mengevaluasi diri dan segera memperbaiki? Terkadang langkah kita bukan dihentikan oleh hal-hal besar, tetapi justru hal kecil yang sepertinya sepele tetapi disikapi dengan cara yang salah. Saya bersyukur bisa melihat terjatuhnya para pemain ice skating, dan bagaimana mereka segera bangkit menyelesaikan gerakan seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Kegagalan ternyata hal yang sangat alamiah, karena itu perlu direspon juga secara alamiah. Bukankah memang harus ada kegagalan, sebelum kita mengenal kesuksesan? Bukankah harus ada malam, sehingga kita bisa menyebut siang? Bukankah harus ada gelap, sebelum kita menyebut terang?  Sesederhana itu....

No comments:

Post a Comment