We become what we repeatedly do – Sean Covey
Merubah kebiasaan memang tidak semudah
membalikkan telapak tangan, apalagi kebiasaan yang sudah melekat selama puluhan
tahun. Itulah yang saya rasakan ketika memulai kebiasaan baru merubah pola
makan. Sudah 1½
bulan ini saya membiasakan diri menyantap “rerumputan”- istilah saya untuk selada,
tomat, mentimun, dan paprika sebagai pengganti makan malam, diperkaya aneka
buah seperti apel, kiwi, jeruk, mangga, strawberry, pisang, melon, tergantung
ketersediaan. Sebenarnya pola makan tidak berubah secara radikal, karena
sarapan pagi masih ditemani dengan 3 gelas jus, dan makan siang juga seperti
biasa. Diantara sarapan pagi ke makan siang dan jeda sore hari, saya masih
menikmati kue-kue atau makanan lainnya. Tetapi ternyata efeknya cukup besar
karena berat badan saya turun 3 kilogram selama 1½ bulan ini. Tentu saja
dikombinasikan dengan olahraga rutin seperti jogging dan angkat barbel.
Sebenarnya tujuan utama bukanlah menurunkan berat badan, tetapi meningkatkan kebugaran dan stamina karena saya
merasa sangat capek setelah mengajar
3 hari berturut-turut. Selain itu saya terkejut
ketika hasil medical check up terakhir menunjukkan angka kolesterol saya melebihi
normal. Hal ini memotivasi saya untuk berubah. Kalaupun
kemudian dampaknya adalah penurunan
berat badan, saya tentu sangat bersuka cita karena
berarti baju-baju lama yang sudah tidak muat bisa saya pakai lagi.
Jangka waktu 1½ bulan sebenarnya sudah
cukup membuat sebuah perilaku menjadi kebiasaan yang melekat, tetapi ternyata
itu tidak berlaku ketika saya pulang ke Solo. Entah karena nuansa rumah,
liburan natal, ada keluarga, banyak makanan, atau memang kemauan kurang kuat,
pola makan saya kembali ke selera asal: makan malam menu lengkap dan ngemil
kue-kue tinggi kalori. Kesadaran saya sudah mengingatkan untuk kembali ke menu
sehat, tetapi pemikiran “mumpung libur”, meluluhlantakkan semuanya. Sungguh
benar kalimat bijak seperti ini: Roh memang penurut, tetapi daging lemah. Dalam
hati bertekad kuat, tetapi kenyataannya menyerah kalah. Pola makan sehat yang
sudah menjadi kebiasaan baru menguap begitu saja. Tetapi bukankah makan nasi
sudah menjadi kebiasaan saya selama berpuluh tahun? Sehingga sangat masuk akal
kalau kebiasaan baru akhirnya takluk. Bahkan secara bercanda saya mengatakan
bahwa “belum makan kalau belum ketemu nasi”. Mie, roti, kentang, masuk kategori
makanan ringan dan bukan pengganti nasi. Padahal selama 1 ½ bulan kemarin
lambung saya mulai terbiasa tidak selalu menerima nasi karena sempat beberapa
hari tidak makan nasi dan diganti sumber karbohidrat lainnya. Porsi makan juga
lebih sedikit karena terasa kenyang. Lalu mengapa bisa terkikis dengan begitu
mudah? Saya mencoba mereka-reka hal sederhana ini ke dalam beberapa hal. Yang
pertama adalah ingatan tentang masa lalu. Selama lebih dari 35 tahun saya
terbiasa makan nasi sebanyak 3 kali, pagi siang dan malam. Bahkan sewaktu kecil
karena ayah ibu tidak mampu menyediakan 4 sehat lima sempurna, terkadang menu yang tersedia adalah
nasi dicampur dengan garam,
parutan kelapa, dan krupuk. Bagi saya waktu itu rasanya sangat “maknyus”, dan
sudah cukup membuat saya kekenyangan. Saat
ini, suasana rumah yang nyaman, seperti membawa saya ke zaman dulu. Ingatan
masa silam seringkali menjebak
kita untuk kembali kepada kebiasaan lama. Tentu saja saya tidak bermaksud untuk
mati-matian mengatur pola makan sehat secara
kaku karena sebenanrya saya sangat fleksibel. Saya hanya ingin
menunjukkan bahwa terkadang ingatan masa lalu menjadi “pembenaran” bagi kita
untuk tidak melangkah maju. Tahun
2012 hampir berakhir dan sesaat lagi kita memasuki tahun baru. Apapun yang
terjadi di tahun ini sudah menjadi masa lalu di tahun depan. Kejadian-kejadian
yang tidak membahagiakan, peristiwa menyakitkan, mungkin saja mewarnai tahun
ini dan membuat kita menyebutnya sebagai tahun yang keras dan sulit, tetapi
sekali lagi ketika melangkah di tahun baru, itu semua sudah menjadi masa lalu
yang tidak akan pernah kita izinkan menyerobot masa depan.
Yang kedua adalah
lingkungan. Ketika merubah pola makan, saya berada di lingkungan yang memiliki
kebiasaan sama yaitu teman-teman kantor yang juga menerapkan hal tersebut.
Membawa bekal berupa 1 kotak “rerumputan” bukanlah hal yang aneh karena yang
lain melakukannya juga sehingga atmosfernya pun terasa. Salah satu teman kantor
bahkan cukup ekstrim karena pernah 1 bulan penuh tidak makan nasi dan diganti
dengan sayuran, buah-buahan, serta protein. Lingkungan memiliki pengaruh kuat
terhadap kebiasaan yang kita bangun. Hal ini yang tidak saya dapatkan ketika
pulang ke Solo. Hembusan anginnya adalah makan segala macam, dan interaksinya
begitu kuat karena berada di dalam satu rumah. Hal ini mengakibatkan saya pun
terimbas dan berpikir “ah, sekali-kali makan bebas dan tidak terikat waktu”.
Sekali lagi saya tidak sedang menjalani pengaturan makan yang ketat, atau
merasa sangat bersalah melanggarnya, karena bagi saya ini adalah hal sederhana.
Saya hanya sedang berusaha melihat sebuah peristiwa dari perspektif yang lain.
Lingkungan mempengaruhi diri kita. Kalimat bijak mengatakan “pergaulan buruk merusak
kebiasaan baik”, memang terbukti. Bukan berarti pulang ke rumah adalah
lingkungan yang buruk. Saya hanya sedang berusaha menarik benang merahnya,
bahwa lingkungan memiliki pengaruh sehingga kita diajar untuk lebih bijak dan
cerdas membawa diri.
Yang ketiga adalah setia
pada tujuan. Seandainya saya memiliki ingatan masa lalu yang kuat, lingkungan
yang tidak mendukung, tetapi kalau saya tetap memegang tujuan saya merubah pola
makan, untuk kebugaran stamina dan menurunkan kolesterol, tentu saya akan tetap
melangkah di jalur itu dengan konsisten. Ketika saya memberikan sedikit
kelonggaran pada diri saya, ternyata berujung pada kelonggaran yang semakin
besar. Konsistensi memang membutuhkan usaha dan tekad yang kuat. Ketika
mengikuti kebaktian Natal di Solo, saya bertemu banyak teman-teman lama,
termasuk para orang tua yang sekarang sudah menjadi kakek nenek dan terlihat
renta. Dahulu ketika saya masih
pemuda-remaja, kami mengadakan persekutuan doa keluarga setiap Sabtu
sore dan di situ kami dijadwal untuk memberikan renungan singkat semampu kami.
Setelah selesai, para orang tua yang akan melengkapi dan memperkaya renungan
yang kami bawakan. Persekutuan doa tersebut mendidik kami para pemuda remaja
untuk berani mengupas firman Tuhan dan berbicara di depan umum. Tidak ada yang
salah, karena nanti akan ditambahkan oleh para tetua yang ada di situ. Yang
menakjubkan adalah persekutuan tersebut masih berjalan sampai sekarang, padahal
sudah berumur 20 tahun lebih. Pembawa renungan pun masih digilir seperti dulu,
dan kali ini giliran pemuda remaja zaman dulu menjadi tua tua-nya. Kesetiaan
pada tujuan membawa kita kepada konsistensi.
Sebentar lagi kita akan
memasuki tahun baru yang penuh harapan. Memupuk kebiasaan baru yang baik, yang
membawa kita pada impian yang ingin kita capai memerlukan niat yang kuat. Ingatan masa lalu, lingkungan, kesetiaan pada
tujuan, adalah poin-poin yang perlu diperhatikan. Mungkin bukan sesuatu yang
besar dan baru, tetapi seringkali hal-hal kecil kita lewatkan. Berawal dari hal
yang sederhana, pola makan, saya mendapatkan banyak pembelajaran untuk
melangkah lebih berani di tahun depan. Selamat meninggalkan tahun 2012, dan
memasuki tahun 2013!