“Porridge day 6!”, demikian bunyi status bbm saya dengan tambahan icon tepok jidat atau “can’t watch”, yang sebenarnya merupakan ekspresi jeritan hati. Terus menerus menyantap bubur sampai hari ke-6 (dan berlanjut ke hari ke-7 dan 8) akibat thypus ternyata bukan perkara mudah. Saya bukan orang yang alergi dengan bubur, bahkan terkadang bubur adalah salah satu menu pilihan saya untuk sarapan pagi. Tetapi terus menerus menyantap bubur sungguh membuat saya hampir muntah karena bosan, meskipun sudah dibantu dengan lauk yang bervariasi seperti ikan, daging ayam, hati, atau telur. Pikiran saya mulai melayang-layang dan membayangkan lezatnya martabak, bebek sambal ijo, gurame goreng, sate kambing, soto ayam, dan beragam menu makanan favorit lainnya. Nasi menjadi sesuatu yang mahal, karena saya memaksa diri untuk terus makan bubur sampai usus saya kembali pulih seperti sediakala.
Sabar, demikian pesan teman-teman. Tidak ada yang instan, semua adalah proses. Bahkan perjalanan suatu penyakit dari masa inkubasi (bekembangnya penyakit) sampai kesembuhannya adalah sebuah proses yang harus dinikmati. Ya, sabar menjadi sesuatu yang langka, dan membuat saya belajar arti menahan diri. Bertahan untuk tidak terburu-buru menyantap makanan kegemaran dan terus berjuang menghabiskan sendok demi sendok bubur untuk meringankan kerja sistem pencernaan saya. Meskipun dalam hati saya selalu berpikir kapan semua ini akan berakhir, tetapi membayangkan perut saya kembali sakit jauh lebih tidak mengenakkan daripada proses menyantap bubur yang harus saya jalani.
Sabar, kata yang mudah diucapkan tetapi ternyata harus diperjuangkan. Saya bukanlah orang yang sabar, dan cenderung berpusat pada hasil, bukan menikmati proses yang berjalan setahap demi setahap. Saya berharap semua keinginan saya segera terwujud tanpa ada kesulitan atau hambatan , meskipun saya sadar itu semua hanya ada di alam khayal atau impian. This is the real life, selalu ada hal-hal tidak mengenakkan yang harus saya telan. Saya tidak bisa berharap semua berjalan baik-baik saja sesuai dengan keinginan saya. Alangkah naifnya kalau saya berpikir demikian. Tetapi bukankah itu sesuatu yang sangat manusiawi, menginginkan segala hal berjalan dengan baik, lancar, sesuai harapan? Bukankah itu keinginan yang sangat wajar? Yup, absolutely right! Tetapi sekali lagi, itu hanya ada di dongeng-dongeng ala H.C Andersen, ketika Sang Pangeran Tampan berhasil menyelamatkan seorang Putri Cantik lalu menikah dan berbahagia selamanya. Alur cerita yang lancar dan pasti, seperti sebuah episode kehidupan yang sudah digariskan untuk happy ending.
Saya teringat kata-kata bijaksana yang menyebutkan bahwa ketika kita berdoa untuk minta kesabaran, Tuhan justru akan mengirim orang-orang yang menjengkelkan untuk melatih kita menjadi sabar. Sabar yang kita harapkan diberikan secara mudah, ternyata harus diproses dengan cara demikian. Seperti otot yang harus dilatih untuk lebih kuat dan gagah, kesabaran pun merupakan sebuah karakter yang harus dilatih agar terbentuk. Kalau kita berada di lingkungan yang semuanya normal dan baik-baik saja, kita merasa menjadi orang yang sabar. Tetapi penilaian apakah kita sabar atau tidak akan nampak terlihat ketika kita berada di lingkungan yang dihuni oleh orang-orang yang tidak meyenangkan dan membuat kita ingin marah,. Justru di saat itulah kesabaran diuji, apakah kita mampu naik kelas atau masih harus mengulang kelas yang sama karena tidak lulus ujian.
Seringkali saya berharap menjadi orang yang sabar, dan saya ditantang untuk melatih kesabaran melalui hal-hal yang tidak saya sukai. Kesabaran hati untuk menikmati bubur berhari-hari lamanya meskipun saya sudah sangat bosan mengajarkan saya banyak hal mengenai keteguhan hati. Saya belajar berempati untuk mereka yang terbaring sakit dan harus melewati berbagai proses untuk sembuh, orang-orang yang jauh lebih menderita dari saya tetapi tangguh dan sabar melewati semua proses yang memang harus dijalani. Sementara saya sudah mulai tidak betah dan merengek hanya karena makan bubur. Sungguh, rasanya saya harus malu dan merelakan hati untuk lebih banyak belajar.
Akhir-akhir ini saya merasa dilatih untuk sabar. Mulai dari hal-hal kecil sampai pekerjaan sehari-hari yang terkadang membuat saya kecewa. Penilaian kinerja yang terasa tidak memuaskan, atau pencapaian prestasi yang berjalan di tempat. Atau juga masa-masa dimana saya harus bekerja sama dengan karyawan baru di kantor untuk melakukan bebagai aktivitas pekerjaan yang baru baginya. Sebagai seseorang yang terbiasa bekerja cepat saya sungguh tidak sabar dan ingin mengatasi semua pekerjaannya agar berjalan lebih lancar. Tetapi saya sadar bahwa itu tidak akan membuat dia pintar, atau saya menjadi lebih pintar, tetapi justru membuat saya kehabisan energi karena mengcover pekerjaan yang bukan lagi menjadi porsi saya. Maka kesabaran sangat diperlukan agar saya tidak tertekan dan belajar menerima kenyataan bahwa tidak semua orang seperti yang saya harapkan. Justru tantangannya adalah bagaimana saya bisa membawa orang tersebut berada pada level yang saya inginkan.
“Sabar subur”, itu adalah istilah Jawa yang merujuk pada artian bahwa orang yang sabar itu akan subur. Subur di sini maksudnya adalah sehat, montok, sukses, bahagia. Kalau tidak salah ingat, “sabar subur” juga merupakan merek roti di Solo sewaktu saya masih kecil, apakah sekarang masih ada atau tidak, saya tidak tahu. Tetapi intinya istilah “sabar subur” ingin menunjukkan kepada kita bahwa orang sabar itu pada akhirnya akan menikmati keuntungan, menjadi “subur”. Berarti orang yang tidak sabar, akan menjadi “tidak subur”. Kalau dalam dunia tumbuhan yang disebut “tidak subur” berarti kering, tidak berbuah, layu. Jadi kalau dianalogikan, orang yang berperilaku tidak sabar akan menjadi orang-orang yang tidak bisa memberikan karya positif bagi orang lain karena “tidak subur.” Kalau tidak subur berarti perlu dipupuk, disiangi, diberantas hama-nya, alias dilatih, dibuang sifat-sifat buruknya, dan diberantas hal-hal negatif yang membuat pikiran dan hatinya menjadi mudah panas dan tidak sabar. Sabar, sesuatu yang sederhana tetapi ternyata berperan sangat penting bagi “subur tidaknya” seseorang. Sabar menghadapi hal-hal yang mengecewakan, sabar terhadap proses kehidupan, sabar untuk dibentuk menjadi berlian meskipun tidak enak. Kalau kita tahu bahwa kesabaran menghasilkan buah-buah yang menyejukkan, mengapa terasa susah melakukannya? Karena kita tidak memiliki keteguhan hati untuk belajar dan merendahkan diri untuk mau dididik dan membuang ego kita. Kita mengedepankan nilai-nilai “saya”. Saatnya merendahkan diri untuk mau menerima hal-hal tidak enak yang melatih kesabaran dan kekuatan hati. Saya sedang dalam proses menerimanya, bagaimana dengan Anda?