Mangga harum manis “matang pohon” = Rp 23.900, mangga harum manis “super” = Rp 14.500, mangga harum manis “harga special” = Rp 8.900. Beraneka jenis mangga tersedia di sebuah toko buah tempat saya membeli buah dan sayur. Sebenarnya saya lebih suka berbelanja di pasar tradisional, tetapi akhir-akhir ini saya beralih ke toko buah karena mencari sayuran organic. Meskipun begitu, kebutuhan buah sehari-hari yang berkulit seperti pisang, melon, alpukat, jeruk, tetap tersuplai dari pasar, sedangkan buah yang bisa langsung dimakan dengan kulitnya seperti apel, pir, saya beli di toko. Alasannya sederhana, di toko lebih fresh dan ‘terkadang’ lebih murah.
Pandangan saya berhenti di jajaran mangga karena ada beragam jenis yang ditawarkan. Harum manis, manalagi, gedong gincu, dan indramayu. Saya terdiam sesaat di depan mangga matang pohon dan memegang-megang buahnya. Sangat menarik, dan ingin mencoba kenikmatannya. Bukankah matang pohon identik dengan buah yang manis? Harganya hampir 3 kali lipat dibanding yang biasa, tetapi sangat menggoda. Meskipun demikian, saya agak ragu dengan tampilannya karena banyak yang masih keras, berwarna hijau, dan tidak menunjukkan tanda-tanda kematangan. Intinya tidak seperti mangga harum manis “harga special” yang tampak menguning dan harum. Ada sebersit ketidakpercayaan dan was-was untuk membeli karena takut tidak enak. Sudah mahal, asam, rugi banget! Walaupun di papan penunjuk tertulis “matang pohon”, yang menjelaskan bahwa mangga tersebut sudah matang, saya tetap memanggil petugas toko untuk memastikan apakah mangga tersebut sudah matang atau belum sekaligus minta dipilihkan yang manis. Dengan tersenyum petugas toko mengatakan bahwa semua mangga yang tersedia tersebut sudah matang dan manis, jadi meskipun penampakannya hijau dan keras, sebenarnya itu sudah matang. Saya cukup diyakinkan dengan penjelasan tersebut dan membeli beberapa buah mangga sebagai pemuas keingintahuan saya.
Buah matang pohon tentu jaminan mutu. Dengan harga sepuluh ribu rupiah 1 biji, saya membayangkan alangkah lezatnya. Bandingkan dengan harga sepiring nasi, sayur, tempe, dan telur mata sapi di warung tegal yang berada di kisaran harga yang sama tetapi sudah mengenyangkan. Cukup menyesakkan, tetapi karena penasaran saya tetap membelinya. Biasanya dengan sepuluh ribu rupiah saya mendapatkan 1 kg mangga, tetapi sekarang 1 biji saja. Lalu apa bedanya? Ketika saya menikmati mangga tersebut, yang ada hanyalah rasa manis, enak, dengan sedikit gas, tanpa sedikitpun rasa asam. Nikmat dan segar. Bahkan kalau diminta untuk membeli lagi saya tidak keberatan karena sangat memuaskan.
Matang pohon jelas berbeda dengan buah yang diperam. Kenapa menjadi mahal, kemungkinan karena proses perawatannya membutuhkan tenaga dan waktu yang lebih lama. Sedangkan buah yang diperam tidak perlu menunggu matang karena akan dikarbit untuk mempercepat proses pematangan. Itulah mengapa, terkadang ada mangga yang berwarna kekuningan, harum, tetapi memiliki rasa yang tidak semanis tampakan luarnya. Itu semua karena buah tersebut “dibuat” matang, dan bukan matang alami. Kalau matang pohon, rasakan bedanya.
Hal sederhana ini membuat saya merenung, bahwa buah pun memiliki perbedaaan antara “matang pohon” dengan “matang dikarbit”. Penampakan luarnya bisa sama, tetapi rasanya berbeda. Seperti manusia yang seringkali ingin mempercepat proses dan mendapatkan hasilnya, tetapi ternyata hukum alam mengatakan bahwa proses harus dilalui sempurna untuk mendapatkan hasil yang sempurna. Alam tidak pernah “jump to result”, setidaknya itu yang bisa dipelajari dari buah-buahan. Proses yang benar akan menciptakan hasil sempurna, kualitas prima, dengan harga maksimal. Tetapi yang terjadi biasanya manusia ingin cepat, hanya melihat hasilnya saja. Seperti ketika saya makan di sbuah rumah makan seafood dan menyaksikan ramainya orang makan di sana. Wah, enak benar jadi pengusaha, kalau hasilnya seperti ini pasti kaya raya. Penilaian yang sangat superficial karena saya tidak melihat apa yang terjadi sebelumnya, proses yang harus dilalui, jatuh bangun, sampai menjadi seperti sekarang. Contoh yang lain, melihat seorang rekan yang menjadi pembicara motivasi, dengan harga fantastis hanya untuk berbicara selama 2 jam, seringkali membuat saya cemburu dan berpikir “gitu aja saya juga bisa”, tanpa menyadari proses yang sudah dilalui, bahwa selama lebih dari 10 tahun membangun karir, diawali dengan berpuluh kali ditolak perusahaan-perusahaan ketika menjajakan materinya, sampai tidak dibayar pun mau yang penting punya kesempatan berbicara, itulah yang sudah dilalui untuk menjadi seperti sekarang. Itu semua adalah proses pematangan, sehingga wajar kalau sekarang memetik hasilnya.
Saya percaya kehidupan kita mengikuti hukum alam. Tidak ada hasil yang “tiba-tiba”, semua melalui proses. Kalau prosesnya dipercepat alias dikarbit, hasilnya pun kurang manis, kualitas tidak terjamin. Seperti ratusan mangga karbitan yang ada di dalam box, seringkali kita menemukan sebagian diantaranya masih asam meskipun dari luar tampak matang. Karena itu jangan heran harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan mangga “matang pohon”. Kesuksesan, kepemimpinan, kedewasaan karakter, semua melalui proses. Istilah instan cukup menjadi milik kopi, mie, bubur, dan sejenisnya. Bahkan gadget paling canggih pun hanya berfungsi mempermudah hidup kita, bukan menggantikan proses yang harus dilalui. Karena itu jangan pernah berharap naik pangkat kalau kita tidak menjalankan proses pematangan dengan benar. Intinya mengerjakan segala sesuatu di atas standar yang telah ditetapkan, kalau itu sudah dilakukan tinggal menunggu waktu saja. Hukum alam tidak pernah meleset. Contoh lain kalau saat ini Anda seorang pemimpin dan ingin menjadi pemimpin hebat yang disegani, jangan mundur ketika dihadapkan dengan berbagai proses pematangan melalui peristiwa-peristiwa yang harus Anda hadapi dan selesaikan.
Sekali lagi tidak ada “karbitan” yang semanis “matang pohon”. Setiap pencapaian di dalam hidup ini terbentuk melalui proses pematangan hari demi hari. John C Maxwell mengatkan “sukses dibangun setiap hari”, jadi tidak ada yang “tiba-tiba”. Proses ini pasti menyita waktu, tenaga, dan emos, tetapi percayalah ada buah yang manis di akhir nanti. Bahasa bekennya “semua indah pada waktunya”. Waktunya adalah ketika proses sudah dilalui dengan sebaik-baiknya, yang terbaik dari diri kita, sehingga membentuk karakter dan mempersiapkan kita naik ke tangga berikutnya. Jangan pernah mau menjadi “karbitan”, ikuti hukum alam. Alam sudah menyediakan banyak pembelajaran, dari peristiwa sehari-hari. Selamat menjalani proses dengan suka cita dan menjadi orang yang “matang pohon”.