Beberapa waktu lalu saya memberikan pelatihan kepemipinan kepada supervisor dan calon manajer di sebuah perusahaan peternakan ayam. Agar lebih memahami proses bisnis dan tantangan yang dihadapi, maka saya berselancar di internet untuk mendapatkan gambaran dan pemahaman mengenai bisnis ayam dan seluk beluknya. Maklum, selama ini sebagian besar outlet yang saya tangani adalah rumah sakit, sehingga peternakan ayam (poultry) masih terasa asing dan buram. Saya hanya mengenal hasil akhirnya saja, fast food, pecel ayam, sate, nugget, dan olahan lainnya. Hal lain yang saya ingat tentang ayam adalah colok dubur, karena ketika kecil seringkali diminta ayah mengecek apakah seekor ayam betina sudah siap bertelur atau belum dengan memasukkan jari kelingking saya di duburnya. Sebuah ketrampilan yang sewaktu co-ass menjadi sangat penting ketika saya harus memeriksa seseorang dengan hemorrhoid (ambeien) atau pembesaran kelenjar prostat. Setidaknya saya sudah berlatih mencolok dubur ayam. Hehehe. Padahal menurut teman yang dokter hewan, tindakan saya tersebut bisa dikategorikan pelecehan atau penganiayaan pada ayam dan dilarang di luar negeri. Wah, saya baru tahu, kalau ternyata ayam pun harus dijaga kebebasan dan kenyamanannya, bahkan ketika mereka dipelihara untuk disembelih.
Fakta yang saya dapatkan dari hasil browsing ternyata mengagetkan, bahwa konsumsi daging ayam dan telur per kapita orang Indonesia sangat rendah. Saya sendiri sebenarnya sudah sangat bosan dan “neg” makan daging ayam dan telur karena hampir setiap hari menyantapnya tetapi ternyata banyak orang yang tidak bisa menikmatinya. Padahal dibanding daging sapi dan kambing, ayam relatif lebih murah dan mudah didapat. Meskipun demikian tingkat konsumsi orang Indonesia masih sangat kecil, jauh tertinggal dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia . Rata-rata orang Indonesia mengkonsumsi 1 ekor ayam setiap 4 bulan , sedangkan Malaysia 3 ekor ayam, telur 1 butir per minggu, sedangkan Malaysia 1 butir per hari. Perbedaaan yang sangat jauh, yang artinya bahwa bagi sebagian besar rakyat Indonesia belum mampu menyantap telur dan ayam sebagai asupan protein sehari-hari.
Kondisi ini tentu sangat berbeda dengan kenyataan lain bahwa Indonesia merupakan negara pemakai Blackberry terbesar di Asia Pasifik bahkan dunia. RIM, sebagai produsen Blackberry menjadikan Indonesia sebagai pasar terbesar, bahkan sebuah televise Kanada menyebut Indonesia sebagai “Blackberry Nation”. Hal ini tidak mengherankan, karena hampir semua orang memegang Blackberry, bahkan pertanyaan yang sering terdengar sekarang adalah berapa nomor PIN, bukan nomor handphone. Saya juga mengamati bahwa sebagian besar orang yang saya temui di jalan memegang handphone, apapun mereknya, tidak selalu Blackberry, mungkin karena saat ini banyak handphone buatan China yang harganya sangat terjangkau. Gerai penjual handphone laris manis seperti kacang goreng, penuh sesak, seperti ketika saya mencari baterai handphone di pusat perbelanjaan ITC. Ramai transaksi. Pertanyaannya, kenapa untuk urusan pemakaian handphone dan gadget Indonesia bisa terdepan, tetapi urusan gizi makanan kita jauh tertinggal? Padahal protein hewani sangat penting untuk masa pertumbuhan , selain juga membantu proses penyembuhan luka, regenerasi sel, mengatur kerja hormon dan enzim dalam tubuh, serta membentuk jaringan. Jangan-jangan kita lebih mementingkan “penampakan” luar dibanding makanan yang kita santap. Ataukah alasan yang lebih rasional adalah bahwa apa yang terlihat di jalan-jalan memang tidak mencerminkan keseluruhan masyarakat Indonesia yang ratusan juta jumlahnya.
Kenyataan lain yang “menyesakkan” adalah fakta bahwa selalu terjadi antrian panjang setiap ada launching gadget terbaru, misalnya handphone atau tablet. Buktinya ketika Samsung Galaxy Note launching kemarin, saya termasuk orang yang ikut antri dengan sabar selama 4 jam, hanya untuk mendapatkan sebuah gadget yang pertama kali dimiliki oleh 1250 orang di Indonesia meskipun dibandrol dengan harga yang tidak murah. Tidak ada perasaaan menyesal atau capek lalu keluar dari antrian, karena memang berniat membelinya. Kalau ditanya apa motif saya sampai rela antri sekian jam, saya tidak bisa memberikan jawaban pasti, apakah karena gengsi atau sebab yang lain. Satu hal yang pasti, antrian terus berlanjut sampai malam dan saya yakin target penjualan produsen untuk launching perdana tercapai. Fakta di depan mata, bahwa orang kita sangat sensitif dengan berbagai hal yang berhubungan dengan gadget terbaru.
Antrian membeli galaxy note jelas tidak bisa disamakan dengan antrian penerima bantuan langsung tunai, zakat fitrah, ataupun daging kurban yang sempat saya saksikan di televisi. Orang-orang yang antri membeli gadget tersebut belum tentu tidak memiliki produk yang lain, karena saya sempat melihat beberapa diantaranya bermain-main dengan Ipad sambil berdiri. Bisa jadi mereka reseller atau memang orang-orang yang terobsesi untuk memiliki gadget canggih setiap saat, menentengnya di jalan-jalan atau mall, sebuah gaya hidup yang semakin jamak terlihat. Memang tidak semuanya demikian, seperti seorang teman yang lebih banyak menggunakan tabletnya untuk membaca e-book, mengunduh artikel-artikel bermanfaat atau menulis catatan di ruang tunggu pesawat.
Fenomena pemakaian gadget, antrian launching dan kenyataan bahwa tingkat konsumsi daging ayam dan telur per kapita orang Indonesia sangat rendah jelas sebuah kontradiksi. Ternyata di balik gemerlapnya mall yang selalu ramai, baik hari biasa terlebih akhir pekan, masih banyak orang-orang di luar sana yang menganggap daging ayam dan telur sebagai sebuah kemewahan. Seporsi pecel ayam seharga 11 ribu rupiah dan sepiring nasi berlauk telur seharga 8 ribu rupiah ternyata masih sangat mahal. Saya tertegun ketika menyadari bahwa masih banyak orang yang tidak bisa menyantapnya, dan lebih tertegun lagi bahwa saya bersedia antri demi sebuah gadget seharga ratusan kali pecel ayam. Kontras, dan saya menjalaninya seringkali tanpa empati. Pelatihan di peternakan ayam yang saya lakukan ternyata memberikan wacana lain, pemahaman baru bahwa ternyata saya sangat diberkati dengan apa yang saya miliki. Apakah pembelajaran saja cukup? Semestinya tidak, karena berarti saya harus mengembalikannya menjadi sebuah kontribusi bagi orang lain dengan penuh empati. Dua hari di peternakan, memberikan pelajaran sepanjang hidup….