Seorang teman mengaku sedang tidak bahagia. Ketika saya tanya kenapa tidak bahagia, dia tidak memberikan jawaban spesifik. Untuk mempermudahnya saya mengajukan dua pertanyaan, apakah mengenai pekerjaan atau kehidupan pribadi. Meskipun sudah dibantu dengan pertanyaan, teman saya masih juga tidak bisa menjawab. Ketika saya tanya lagi kapan dia merasa bahagia, jawabannya pun masih mengambang. Apakah ketika punya banyak uang, rumah, pasangan, jabatan yang bagus, atau yang lainnya. Teman saya berpikir sejenak, lalu menggumam perlahan, mmmm.....apa ya? Kalau punya uang banyak mungkin bahagia, karena bisa beli rumah besar, liburan ke luar negeri, dan yang lainnya…..
Perbincangan tadi membuat saya tergelitik dan buru-buru memberikan pertanyaan kepada diri saya sendiri. Am I happy? Oh my goodness, ternyata saya juga kesulitan menjawabnya. Waduh, apakah itu berarti saya tidak bahagia? Kemungkinan iya, karena kalau bahagia, saya tidak perlu berpikir untuk menjawabnya. Mengapa? Karena kebahagiaan itu memancar dan meluap dari hati, sampai-sampai kita ingin membagikan kebahagiaan itu kepada semua orang. Fakta bahwa saya kesulitan menjawab pertanyaan tersebut membuat hati saya menciut. Kalau benar saya tidak berbahagia, maka saya harus segera mencari obatnya. Atau jangan-jangan saya berada dalam posisi “pursuit of happiness” seperti judul film favorit saya.
Terdorong rasa ingin tahu apakah orang lain juga bahagia, saya mencoba broadcast ke beberapa teman secara acak untuk menanyakan “Are you happy? What makes you happy?” Ternyata respon yang ada sangat cepat. Dalam beberapa detik lampu indicator blackberry saya menyala-nyala menandakan ada pesan masuk. Jawaban yang saya terima juga sangat beragam. Ada yang bilang sedang tidak bahagia karena karirnya mandek dan masih mencari pekerjaan baru. Yang lain mengatakan tidak terlalu bahagia, tetapi ketika saya bertanya lebih lanjut alasannya, ternyata tidak bisa memberikan jawaban yang jelas. Ada yang tidak bahagia karena sampai saat ini belum menemukan pasangan yang diharapkan. Meskipun demikian beberapa teman menyambut dengan antusias dan mengatakan bahwa mereka sangat berbahagia dengan beragam alasan. Berbahagia karena mendapatkan kenaikan gaji, pekerjaan yang disenangi, pasangan yang mencintai, keluarga yang menyayangi, teman-teman yang mengasihi, sehingga meskipun sendiri merasa tidak sendirian. Ada juga yang mengatakan bahwa dia merasa berbahagia tetapi kadangkala tidak berbahagia, misalnya ketika sedang sakit.
Saya menikmati semua jawaban yang masuk. Wah, semakin banyak jawaban ternyata semakin complicated. Padahal semestinya bahagia adalah sesuatu yang simpel. Menjadi kompleks ketika orang memaknai kebahagiaan dengan ukurannya sendiri-sendiri. Ketika ditanya apakah bahagia sama artinya dengan senang, saya sulit membedakannya meskipun menurut saya beda tipis. Terjemahan bahasa inggrisnya juga hanya satu kata yaitu happy. Kata “senang” lebih diartikan sebagai perasaan sesaat, sedangkan bahagia lebih lama, long lasting. Itu menurut saya, mungkin ada pendapat lain dari anda. Nah, yang perbedaannya lebih jelas adalah kata suka cita, karena dalam bahasa inggrisnya diterjemahkan sebagai joy. Kalau ditanya lagi apa perbedaan bahagia dan suka cita, saya harus menelaah lebih lama untuk menjawabnya. Setahu saya, suka cita merujuk pada sesuatu yang lebih dalam dari bahagia, jadi intinya kebahagiaan yang terus menerus, tanpa tergantung dari situasi di luar kita.
Kalau dicermati, hampir semua jawaban yang masuk menghubungkan kebahagiaan dengan hal-hal yang berkaitan dengan materi atau orang. Misalnya, bahagia karena memiliki banyak uang, pasangan yang sesuai, dan lain-lain. Apakah itu salah? Tentu saja tidak. Tetapi pertanyaannya adalah seandainya semua itu diambil dari kita apakah kita akan tetap berbahagia? Seorang teman yang lulusan psikologi memberikan banyak jurnal kepada saya mengenai happiness dihubungkan dengan sebuah perasaan yang disebut sebagai “subjective well being”. Subjective well being merujuk pada kebahagiaan yang berasal dari penerimaan terhadap diri sendiri, dan dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar.
Seringkali dikatakan bahwa kebahagiaan semestinya tidak tergantung dari luar, tetapi dari dalam atau happiness inside. Bahkan ada yang secara ekstrim mengatakan bahwa kebahagiaan adalah pilihan. Kita mau bahagia atau tidak itu tergantung pilihan kita. Orang lain tidak berhak mempengaruhi kebahagiaan tersebut. Jadi kita yang menentukan apakah mau bahagia atau tidak. Bagi saya hal itu sungguh abstrak dan tidak mudah dilakukan, antara setuju dan ragu-ragu. Sebagai manusia, maunya yang mudah-mudah saja. Contoh konkrit dari happiness inside misalnya saat seseorang sedang putus dengan pacarnya, maka dia berada dalam kondisi memilih antara tetap bahagia atau tenggelam dalam kesedihan. Kalaupun kemudian dia bersedih, bagi saya itu adalah hal yang wajar dan normal. Trus bagaimana? Ya tidak apa-apa, cuma harus memilih agar tidak terlalu lama bersedih. Segera turn around dan kembali berbahagia.
Seorang teman yang lain memberikan cerita menarik di pagi hari. Dikisahkan ada seorang pria yang sedang minum di cafe, lalu menceritakan kisah yang sangat lucu kepada orang-orang di sekitarnya. Mendengar cerita lucu tersebut, orang-orang di dalam cafe tertawa terbahak-bahak. Setelah beristirahat sejenak, pria tadi kembali menyampaikan cerita yang sama. Kali ini tidak banyak yang tertawa menyambut ceritanya karena sudah pernah mendengar sebelumnya. Sesaat kemudian, pria tadi kembali menceritakan lelucon yang sama. Kali ini seluruh pengunjung café terdiam dan tidak ada yang tertawa. Pria tadi lalu berdiri dan berkata, kalau kita tidak bisa tertawa berulang-ulang untuk sebuah cerita lucu yang sama, kenapa kita bisa bersedih berulang-ulang untuk perkara yang sama? Saya tersenyum dan mengangguk-angguk. Bukankah cerita ini juga bisa menggambarkan mengenai kebahagiaan? Seringkali kita bersedih berkali-kali untuk hal yang sama dan kehilangan kebahagiaan yang semestinya bisa kita rasakan.
Jadi kalau sekarang ditanya are you happy, apa jawabannya? Saya rasa tidak ada jawaban benar atau salah, karena itu semua mencerminkan apa yang kita rasakan tentang kehidupan yang kita jalani. Tetapi tentu saja semua orang ingin menjawab “ya, saya bahagia”. Bisa saja kebahagiaan itu diukur oleh hal-hal subjektif yang lebih banyak merujuk kepada materi atau orang lain, suatu ketergantungan terhadap hal-hal di luar kita. Itu juga sah-sah saja. Lalu kenapa dikatakan happiness inside? Saya rasa kebahagiaan memiliki beberapa tingkatan, dari yang paling rendah sampai paling tinggi. Level tertinggi adalah happiness inside, kebahagiaan dikontrol dari dalam diri kita. Wah, sungguh menyenangkan berada dalam kondisi seperti itu. Bagaimana caranya? Ketika saya berjuang keras mendapatkan jawabannya, hanya satu kata yang muncul yaitu bersyukur. Ya, kata ini memang sederhana tetapi sangat powerfull dan meaningfull. Saya tidak berada dalam kapasitas untuk bisa menjelaskan, tetapi hati nurani saya mengatakan, inilah kunci yang bisa membuat setiap orang menjawab “ya” dengan antusias ketika ditanya “are you happy”. Ungkapan yang benar-benar berasal dari hati dan bukan lips service saja atau ketika sedang berada di acara-acara keagamaan. Bersyukur adalah kunci kebahagiaan. Saya masih harus menguji hipotesis tersebut walaupun hati saya mengatakan itulah alasan yang memiliki korelasi paling dalam. Bagaimana menurut anda?
(next – what is the most important thing in your life?)