Ini cerita tentang kata “cukup”. Sudah puluhan kali saya melakukan perjalanan ke luar kota dan menginap di hotel tak berbintang sampai bintang 4. Maunya sih bintang 5 dan gratis, tapi belum kesampaian karena jatahnya baru segitu. Seperti saat ini ketika saya bermalam di Semarang dan menginap di salah satu hotel berbintang 4 di kawasan simpang lima. Dari semula saya memang berniat untuk menginap di hotel tersebut karena dekat dengan toko buku dan punya memori dengan sajian makan paginya yang beraneka ragam dan menggugah selera. Tetapi ternyata ketika pagi tiba dan saya menikmati sarapan, tidak semua hidangan bisa saya santap karena keburu kenyang. Rasa ingin mencicipi semua makanan sangat besar, tetapi menyadari bahwa perut saya tidak mampu menampung maka saya tidak melakukannya. Sejujurnya saya sudah tercukupi dengan apa yang saya nikmati, dan keinginan ”lapar mata” menjadi hilang sama sekali. Saya menyadari betapa sebenarnya yang dibutuhkan hanya rasa ”cukup”, tidak lebih dari itu. Kebutuhan makan pagi saya sudah terpenuhi, dan meskipun makanan sangat berlimpah saya tidak tertarik lagi untuk menikmatinya karena merasa ”cukup”.
Makna kata ”cukup” tentu berbeda-beda bagi semua orang, bahkan dalam kasus sarapan seperti yang saya alami. Kalau sedang tidak menginap di hotel, saya terbiasa sarapan dengan 3 gelas jus dan bagi saya itu sudah cukup. Kalau kebetulan sedang lapar, saya menambahkan dengan sepotong roti. Kalau tidak sempat membuat jus saya sarapan dengan nasi uduk setengah porsi, tempe, telur, dan itu sudah memberi rasa kenyang. Tetapi ketika saya berada di hotel, standar sarapan saya menjadi berbeda. Saya akan menambahkan beberapa menu agar saya merasa puas, tetapi tetap tidak berlebihan, karena saya tahu kapasitas lambung saya. Kalaupun dipaksakan hanya akan membuat perut saya sakit dan tentu sangat mengganggu sepanjang hari.
Merenungkan masalah sarapan membuat saya menyadari bahwa yang saya butuhkan sebenarnya hanyalah ”cukup”, tidak berlebihan. Tiba-tiba otak saya yang agak liar segera menyahut: ”Iya, maksudnya ”cukup uang kalau mau beli mobil”, ”cukup uang kalau mau beli rumah”, ”cukup uang kalau mau berlibur ke luar negeri”, nah itu baru benar-benar kata ”cukup”. Saya tertawa sendiri dan segera mengusir jauh-jauh pikiran nakal itu, karena tentu saja bukan itu yang saya maksud. Satu hal yang saya dapatkan dari pelajaran sarapan di hotel berbintang adalah sebenarnya hanya rasa cukup yang kita perlukan, bukan ”berlebihan”. Dan itulah yang bisa saya praktekkan dalam hidup saya sehari-hari, bahwa yang saya butuhkan hanyalah rasa ”cukup”. Keinginan untuk mengejar yang berlebihan terkadang membuat saya menjadi tidak nyaman karena terobsesi untuk selalu memiliki lebih dan lebih. Otak saya segera memprotes, ”Ah itu hanya karena kamu tidak mampu mengejarnya kaleee.....sehingga berlindung dari kata cukup.”
Sekali lagi perasaan ”cukup” tentu berbeda-beda bagi setiap orang. Tetapi yang terjadi seringkali orang mengejar lebih banyak dari yang dia perlukan dan selalu merasa kurang dengan yang dia miliki. Seorang pejabat dengan pendapatan yang besar tiba-tiba terjatuh dalam kasus korupsi, padahal sebenarnya tanpa korupsi pun apa yang dia dapatkan sudah sangat cukup untuk memelihara sebuah kehidupan. Tetapi karena rasa ”kurang” yang dikedepankan, maka hatinya tergoda untuk melakukan hal-hal yang tidak benar. Saya meyakini, seandainya setiap orang di negeri tercinta ini memaknai kata ”cukup” maka korupsi tidak akan merajalela yang menempatkan kita sebagai salah satu negara yang tinggi tingkat korupsinya. Rasa kurang dan selalu ingin mendapatkan lebih dari yang dibutuhkan membuat orang menjadi rakus dan melakukan hal-hal yang tidak semestinya.
Kata ”cukup” juga bisa diartikan sebagai tidak kekurangan, mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup kita sehari-hari. Jadi kalau saya bisa makan dan kenyang sehari 3x dengan memenuhi kaidah 4 sehat 5 sempurna, ditambah jus, susu, vitamin, dan segala macam atribut yang meningkatkan kesehatan saya, berarti sebenarnya saya sudah cukup. Kalau saya memiliki mobil yang membawa saya kesana kemari, tidak kehujanan dan kepanasan, itu sudah cukup. Tetapi sekali lagi, makna kata ”cukup” tentu berbeda-beda bagi setiap orang. Kalau mobil jenis MPV sudah cukup bagi saya, tentu orang yang memiliki penghasilan lebih tidak akan cukup dengan mobil itu dan memilih merk yang lebih tinggi. Apakah itu salah? Tentu tidak, karena memang dia mampu membelinya. Sekali lagi, ”cukup” itu relatif. Tidak ada yang salah, karena saya sadar bahwa kebutuhan setiap orang berbeda-beda.
Kalau merujuk kebutuhan manusia menurut Maslow, kita belajar mengenai hirarki kebutuhan yang membentuk piramida. Kalau kebutuhan dasar sudah terpenuhi, maka manusia akan mencari kebutuhan yang lebih tinggi yaitu rasa aman, sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri. Meskipun bagi saya, kalau saat ini Maslow masih hidup, mungkin harus melihat ulang piramida kebutuhan yang dia buat, karena tidak selalu mengikuti urutan yang ditetapkan. Contohnya saya, masih tinggal di kos dan belum punya rumah sendiri, tetapi saya mendahulukan membeli mobil untuk memenuhi kebutuhan saya akan transportasi, karena kebutuhannya lebih mendesak. Kalau saya melihat mobil-mobil mewah bersliweran di jalan, tentu saya sadar bahwa para pemilik mobil tersebut sudah sampai pada tahap kebutuhan aktualisasi diri. Apakah itu salah? Sekali lagi tidak, karena mereka mampu memenuhinya. Yang menjadi masalah adalah kalau orang terjebak untuk memenuhi ”keinginannya”, bukan ”kebutuhannya” sehingga menghalalkan segala cara untuk mencapainya.
Kalau merujuk kebutuhan manusia menurut Maslow, kita belajar mengenai hirarki kebutuhan yang membentuk piramida. Kalau kebutuhan dasar sudah terpenuhi, maka manusia akan mencari kebutuhan yang lebih tinggi yaitu rasa aman, sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri. Meskipun bagi saya, kalau saat ini Maslow masih hidup, mungkin harus melihat ulang piramida kebutuhan yang dia buat, karena tidak selalu mengikuti urutan yang ditetapkan. Contohnya saya, masih tinggal di kos dan belum punya rumah sendiri, tetapi saya mendahulukan membeli mobil untuk memenuhi kebutuhan saya akan transportasi, karena kebutuhannya lebih mendesak. Kalau saya melihat mobil-mobil mewah bersliweran di jalan, tentu saya sadar bahwa para pemilik mobil tersebut sudah sampai pada tahap kebutuhan aktualisasi diri. Apakah itu salah? Sekali lagi tidak, karena mereka mampu memenuhinya. Yang menjadi masalah adalah kalau orang terjebak untuk memenuhi ”keinginannya”, bukan ”kebutuhannya” sehingga menghalalkan segala cara untuk mencapainya.
Seorang teman tiba-tiba bertanya, ”kalau mengenai makan saya setuju dengan kamu deh, tapi kalau kebutuhan yang lain, saya pikir orang bebas mengejar apa yang menjadi kebutuhannya. Trus kalau mengenai pencapaian diri dan prestasi, apakah performance kita hanya akan berhenti pada kata ”cukup”?” Saya berpikir ulang, sebenarnya yang dikejar orang apakah kebutuhan atau keinginan? Kalau kebutuhan, semestinya kalau sudah terpenuhi akan cukup. Tapi kalau keinginan, wah itu tidak ada batasnya. Dulu awal saya bekerja di Puskesmas tahun 1999, saya masih ingat gaji dokter PTT yang hanya Rp 499.000/bulan. Itupun kadang terlambat. Ketika 2 tahun kemudian gaji dinaikkan 2x lipat, saya sangat bahagia dan merasa hidup saya jauh lebih baik. Sebelumnya saya membeli sepeda sebagai alat transpor, lalu naik menjadi vespa, dan sekarang saya menggunakan mobil. Itu kalau berbicara mengenai materi. Kalau mengenai kualitas hidup, apakah kata cukup itu bisa dipakai? Saya berpendapat bahwa untuk kualitas hidup semestinya kita mengejar hal terbaik yang bisa kita dapatkan. Karena untuk kualitas pribadi, kita tidak bicara mengenai ”apa yang kita miliki”, tetapi ”menjadi apa kita”. Makna kata cukup di awal tulisan yang saya bagikan berdasarkan kecukupan saya akan makanan, tentu tidak bisa disamakan maknanya dengan ”cukup” dalam konteks ”menjadi apa” atau prestasi yang kita miliki. Karena dalam konteks tersebut, cukup akan disamakan dengan ”average”, ”rata-rata”, ”mediocre”, padahal kita bisa menjadi good, untuk berubah menjadi great.
Perhatian saya lebih ke arah arti kata ”cukup’ mengenai apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan, bukan pula prestasi kita. Karena sekali lagi, keinginan tidak akan ada habisnya. Gaji naik, keinginan pun akan naik. Keinginan tersebut kemudian kita bungkus menjadi sebuah ”kebutuhan” sehingga memicu kita untuk memenuhinya. Sayangnya, kalau keinginan tersebut tidak bisa dipenuhi dengan pendapatan yang ada, maka mulailah manusia dengan akal pintarnya mencari-cari segala cara, pantas maupun tidak pantas untuk bisa memenuhinya
Saat ini saya bersyukur dengan segala kecukupan yang saya rasakan, meskipun tetap bermimpi untuk memenuhi kebutuhan lain yang sampai saat ini belum terpenuhi. Saya belajar untuk menikmati rasa ”cukup” dengan apa yang saya miliki, dan ternyata itu membahagiakan. Semua berawal dari rasa ”cukup” saat saya menikmati sarapan pagi di hotel, tetapi ternyata itu memberi makna baru dari cara pandang saya mengenai kehidupan. Saya sungguh terberkati dengan hal itu, bagaimana dengan anda?
No comments:
Post a Comment