Selamat tinggal Selong. Saya membisikkan kalimat tersebut ketika mobil yang saya naiki bergerak meningggalkan Lombok Timur menuju Mataram, satu minggu yang lalu. Perasaan haru menyeruak setelah selama 2 hari penuh saya memberikan pelatihan di RS Namira, satu-satunya RS swasta di kota kecil itu. Baru kali ini saya merasa salah kostum ketika memberikan pelatihan, bukan karena saya tidak memakai jas, tetapi justru karena saya memakainya! Saya kaget dengan penampilan sebagian peserta yang “apa adanya”, menggunakan sandal jepit, bahkan ada yang tidak menggunakan alas kaki sama sekali. Sebagai orang yang lahir di “kota” dan terbiasa rapi untuk acara-acara resmi, saya sempat bengong ketika melihat mereka, tetapi sekejap kemudian terbahak-bahak dalam hati. Wah, pengalaman unik yang tidak saya dapatkan di tempat lain. Begitu juga pesertanya sangat beragam, dari anak muda sampai usia lanjut, dari dokter sampai cleaning service, yang membuat saya memutar otak untuk berbicara dengan bahasa sederhana dan mudah dimengerti. Meskipun dari wajah-wajah mereka saya melihat ada orang-orang yang belum mampu memahami apa yang saya sampaikan, tetapi saya berharap ada 1 atau 2 hal sederhana yang bisa mereka dapatkan. Pantaslah kalau sehari sebelum pelatihan, pemilik RS meminta saya untuk memberikan hal-hal yang ringkas dan tidak terlalu banyak karena tidak akan masuk ke peserta. Ternyata benar adanya….
Saya bersyukur bisa datang ke kota ini, berkenalan dengan suami istri pemilik RS yang rendah hati. Lima tahun yang lalu mereka datang ke Selong, membuka klinik sampai akhirnya menjadi rumah sakit. Sang istri adalah dokter spesialis penyakit dalam yang memang ditempatkan di kota kecil ini karena menjalani wajib kerja spesialis. Tetapi sekarang mereka justru jatuh cinta dengan Selong dan bertekad membantu membangun kota ini melalui rumah sakit yang mereka dirikan. Karyawan-karyawannya hampir semua orang Selong, meskipun untuk tenaga profesional seperti dokter, perawat, bidan, beberapa masih impor dari luar daerah. Tetapi pos pos lain seperti dapur, cleaning service, keamanan, diambilkan dari Selong. Bahkan yang menarik, ketua RT setempat di sekitar RS dikaryakan juga sebagai petugas keamanan. Selain pemberdayaan, sebenarnya juga bertujuan untuk menjaga rumah sakit dari gangguan luar.
Kejadian yang membekas, selain balada alas kaki, adalah kebiasaan mereka membuang sampah seenaknya meskipun ada tempat sampah. Saya mengalaminya, ketika beberapa peserta membuang begitu saja bungkus permen di lantai saat mengikuti pelatihan. Memang pemilik RS sudah pernah bercerita sebelumnya bahwa kebiasaan membuang sampah masih sangat buruk tetapi saya tidak menyangka kalau mereka “tega” membuang bungkus permen di lantai yang bersih dan mengkilat. Akhirnya saya mengajak mereka untuk membersihkan, dan membuangnya di tempat sampah. Bagi saya, ini justru merupakan pembelajaran yang sangat baik, karena peserta langsung mendapatkan pengalaman dari hal nyata yang tampak di depan mata. Selain kebesihan, kedisiplinan juga menjadi masalah, terutama jam kedatangan. Bahkan menurut informasi, rapat-rapat di kantor pemerintah juga terbiasa untuk molor 1 jam atau lebih. Pelatihan yang seharusnya mulai jam 8, mundur menjadi jam 9. Syukurlah di hari ke-2, peserta sudah datang tepat waktu.
Saya menutup malam terakhir di Selong dengan makan bersama di warung kelor yang sangat terkenal di kota itu. Sayur khasnya adalah sayur kelor, seperti sayur bayam, tetapi daunnya lebih kecil dan bulat-bulat. Rasanya pun hampir sama. Tetapi yang lebih menggugah selera adalah makanan hasil laut seperti ikan, cumi, dan udang. Besar, enak dan segar! Benar-benar fresh, karena kota ini sangat dekat dengan pelabuhan dan lautnya pun masih perawan. Sangat berbeda dengan seafood di Jakarta, apalagi kalau melihat pelabuhan Muara Karang yang airnya hitam pekat. Sungguh makan malam yang nikmat, dengan perbincangan yang mengalir di antara kami, membahas Selong dan keunikannya. Keingintahuan saya tentang “alas kaki” akhirnya terbayar lunas ketika pemilik menceritakan bahwa masyarakat di kota ini belum terbiasa berpakaian “pada tempatnya”, Bahkan ketika diundang ke pesta pernikahan pun ada yang datang dengan sandal jepit. Perlu waktu untuk mengedukasi karena Selong cenderung tertutup, tidak seperti Mataram yang penduduknya sudah beraneka ragam. Padahal kota ini kaya, tanahnya subur, hasil lautnya melimpah, tetapi sumber daya manusia-nya masih rendah.
Pelatihan 2 hari di Selong sudah selesai. Mobil yang saya tumpangi melaju ke Mataram. Hamparan sawah, bukit, dan perkebunan tembakau yang biasa saya lihat di pagi hari mulai ditinggalkan. Jarak tempuh Selong-Mataram membutuhkan waktu sekitar 2 jam. Kalau di Jakarta, waktu tempuh 2 jam ke suatu tempat terasa biasa karena terjebak macet di mana-mana. Tetapi di Lombok, waktu tempuh 2 jam terasa panjang. Saya menikmati malam di perjalanan dengan banyak kenangan tentang kota ini. Meskipun hanya 2 hari, saya berharap memberikan manfaat kepada mereka untuk membuka wawasan tentang pentingnya hal-hal sederhana seperti kebersihan, kedisiplinan, baik dalam pekerjaan maupun dalam kehidupan sehari-hari dan mau berubah untuk melakukannya. Mulai dari diri sendiri, dan terus menerus dilakukan sehingga menjadi sebuah kebiasaan. Waktu terus merambat, saya berharap segera sampai di Mataram dan beristirahat. Selamat tinggal Selong, entah kapan bisa ke sana lagi….