Saya berandai-andai dengan apa yang sedang saya kerjakan. Apakah saya bangga dengan pekerjaan saya? Apakah saya bangga dengan diri saya? Apakah saudara, keponakan, sahabat, bangga dengan diri saya? Terinspirasi dengan kalimat dari buku Life Success Triangle karya Eloy Zalukhu, “bukan tentang bagaimana kamu memulai, tetapi bagaimana kamu mengakhirinya”, saya merenungkan kembali makna kehidupan saya di dunia ini. Apakah saya sudah menjadi orang yang berarti bagi orang lain, ataukah saya terlalu sibuk dengan urusan saya sendiri, prestasi, pencapaian, dan segala tetek bengek yang berpusat pada “aku”? Apakah selama lebih dari 30 tahun ini saya terjebak untuk terus menerus memikirkan diri sendiri sehingga sulit berbagi dengan orang lain? Apakah saya disilaukan dengan tuntutan diri akan prestasi dan cenderung selalu kecewa dengan apa yang saya miliki?
Saya menoleh ke belakang dan melakukan flashback terhadap buku kehidupan yang telah saya lalui. Seperti seorang pelari yang sedang berusaha menyelesaikan garis finish, saya menjalani lintasan yang sudah disediakan. Semua yang sudah saya lewati adalah masa lalu yang tidak mungkin diputar lagi. Saya sudah memulai lintasan tersebut dengan segala peristiwa yang tertulis di dalamnya, tetapi itu semua menjadi tidak penting ketika saya sadar bahwa suatu ketika saya harus mengakhirinya. Dan ketika saya mengakhirinya, apakah Sang Pencipta menemukan saya sedang melakukan yang terbaik yang bisa saya lakukan dan bekerja dengan seluruh potensi yang sudah Dia berikan? Ataukah Dia menemukan saya dalam kondisi terburuk dan menyia-nyiakan seluruh potensi yang sudah Dia anugerahkan?
Hari ini saya sudah mengisi buku kehidupan saya dengan segala aktivitas yang saya lakukan. Pertanyaannya, apakah semua itu membentuk saya menjadi pribadi yang lebih baik? Apakah ada semangat untuk selalu bertambah baik hari demi hari? Ataukah hari ini pun berlalu begitu saja dan hanya menyisakan kepenatan? Dalam pekerjaan kita mengenal istilah Jepang “kaizen” yang berarti “perbaikan yang berkesinambungan”. Perubahannya memang tidak dramatis, melainkan sedikit dan bertahap, tetapi dalam jangka waktu panjang akan memberikan perubahan besar. Di tempat kerja saya sekarang, semangat kaizen tersebut diadopsi menjadi istilah CONIM, continual improvement, alias perbaikan yang terus menerus. Tujuannya agar kita semakin efektif dalam bekerja dan selalu ada perbaikan yang berkelanjutan. Dengan demikian kita tidak stagnan dan terjebak dalam rutinitas yang itu-itu saja, padahal masih ada ruang perbaikan yang dapat memberikan hasil yang lebih optimal. Bayangkan, dalam pekerjaan saja kita sangat detail dan selalu berusaha melakukan perbaikan berkesinambungan, apakah kita akan melakukan hal yang sama untuk pertumbuhan diri kita?
Pertumbuhan diri yang saya maksud tentu bukan dari anak kecil menjadi remaja dan dewasa, tetapi merujuk pada pengembangan pribadi. Apa yang sudah kita lakukan terhadap diri kita? Kalau di pekerjaan, saya harus membuat minimal 2 CONIM dalam satu tahun, untuk pengembangan diri sendiri apa yang akan saya lakukan? Seperti semangat “kaizen”, sebenarnya perbaikan tersebut tidak harus selalu dramatis. Iseng-iseng saya mencoba menuliskan hal-hal apa yang telah saya lakukan untuk mengembangkan diri saya, sejalan dengan resolusi awal tahun yang sudah saya canangkan. Pertama yang terlintas adalah membaca buku. Berapa banyak buku yang telah saya baca dalam 4 bulan ini? Dengan asumsi 1 bulan 2 buah buku baru, termasuk membuat resensinya, maka seharusnya saya sudah membaca 8 buku dan membuat 8 resensi. Tetapi kenyataannya saya baru membaca 4 buku dan 1 resensi. Sangat jauh dari keinginan dan harapan. Masih ada tumpukan buku baru yang saya beli karena “gelap mata”, dan menunggu untuk saya baca. Kedua, berlatih menulis dengan target 1 minggu 1 tulisan. Berarti dalam 1 bulan seharusnya tercipta 4 tulisan. Kenyataannya dalam 1 bulan saya baru menulis 2 tulisan, bahkan di April ini saya harus memaksa diri untuk menulis agar mencapai 2 tulisan, karena kalau tidak maka bulan ini hanya akan ada 1 tulisan. Wah, semakin jauh dari target yang sudah dicanangkan di awal tahun. Ketiga, berlatih gitar, ini adalah bagian dari pengembangan diri, dan saya sudah berkomitmen untuk berlatih minimal 30 menit setiap hari. Kenyataannya? Bolong-bolong! Kadang berlatih, tetapi lebih banyak tidaknya. Waduh, semakin parah. Keempat, berolahraga 3x seminggu, ini juga belum tercapai, baru 1x seminggu, kalau rajin hanya 2x seminggu. Kelima, membaca Alkitab sampai habis dalam jangka waktu setahun dengan mengacu pada buku renungan harian yang akan saya lakukan sebelum tidur. Wah, ini juga sama, ternyata saya lebih banyak ketiduran daripada terjaga. Keenam, ketujuh, dan seterusnya, masih ada beberapa rencana pengembangan yang akan saya lakukan, tetapi ternyata menguap seiring berjalannya waktu. Sebenarnya saya ingat, tetapi tidak memiliki semangat cukup untuk memaksa diri melakukannya dan kemudian menjadi sebuah kebiasaan.
Beberapa waktu lalu saya berbincang-bincang dengan teman satu team di bagian training, seorang admin yang bertugas mengurusi segala hal yang berhubungan dengan training, menyusun jadwal, dan mendukung kelancaran pekerjaan kami. Background pendidikannya adalah teknik elektro, dan sebelumnya bekerja di kontraktor. Meskipun saat ini masih seorang admin, tetapi dari perbincangan tersebut saya bisa mengenal lebih jauh pandangan dan harapannya. Saya baru tahu bahwa dia juga pemain band, dan memiliki jadwal manggung di cafe. Yang lebih mengejutkan, dia memiliki keinginan maju yang besar dengan mengikuti training-training pengembangan diri di bidang teknikal dengan biaya sendiri untuk mendukung hobinya mengikuti lomba perakitan robot dan sejenisnya. Saya percaya, bahwa dia sedang merajut mimpi-mimpinya untuk menjadi orang besar dan tidak berhenti sebagai admin saja!
Berkaca pada diri sendiri, saya memiliki banyak program pengembangan diri yang sudah direncanakan tetapi tidak konsisten dalam pelaksanaan. Rasa malas, capek, masih ada hari esok, sibuk, tidak ada waktu, dan beragam alasan lain menjejali pikiran saya. Uniknya,dengan serta merta saya mencari pembenaran-pembenaran atas alasan tersebut sehingga menjadi rasional dan masuk akal. Lalu akal saya yang memang saya buat untuk menerima beragam alasan itu dengan segera mengamini dan meyakini kebenarannya. Akibatnya sampai hari ini saya masih berada di titik yang itu-itu juga. Padahal semestinya, saya bisa melakukannya dengan teratur setiap hari tanpa perlu terbebani untuk sebuah perubahan yang radikal. Sehingga kalau malam ini saya merenungkan apa yang telah saya lakukan seharian, saya tidak akan berakhir dengan kecapekan, tetapi dengan ucapan syukur bahwa saya sudah melakukan perubahan-perubahan kecil yang membawa arti dalam hidup saya. Kalaupun hari ini lembaran buku saya sudah penuh dengan tulisan dan saya belum puas dengan apa yang saya lakukan, saya masih memiliki lembaran putih untuk ditulisi keesokan harinya. Alat tulis sudah tersedia pada saya, terserah bagaimana saya akan mengisinya. Apakah akan dibuat sama seperti hari yang sudah lewat, atau ada “kaizen” yang akan saya lakukan untuk perbaikan yang terus berkesinambungan?
Merenungkan kembali kalimat “bukan tentang bagaimana kamu memulai, tetapi bagaimana kamu mengakhirinya”, menggetarkan hati saya untuk mereka ulang apa yang harus saya lakukan untuk menyelesaikan lintasan lari yang saya jalani. Saya tidak bisa memastikan apakah nantinya saya akan menjalani lari maraton, jarak menengah, atau justru jarak pendek. Itu semua di luar kekuasaan dan wewenang saya. Yang saya tahu, saya harus menyelesaikan pertandingan dengan baik. Tidak masalah bagaimana saya memulainya, karena itu semua sudah menjadi bagian dari buku kehidupan saya, yang terpenting, bagaimana saya akan mengakhirinya. Apakah saya tetap konsisten untuk berada di lintasan yang sudah disediakan, atau justru melenceng ke luar jalur? Apakah saya akan ditemukan tetap setia di akhir perjalanan, ataukah menyeberang? Apakah saya menggunakan segenap potensi yang ada dan terus menerus berubah menjadi lebih baik dan semakin baik? Ataukah saya sudah puas dengan yang ada saat ini dan tidak ada gairah untuk memperbaikinya?
Saya percaya bahwa setiap manusia bisa dikembangkan menjadi semakin baik setiap hari. Tentu saja pengembangan itu bukanlah hasil yang turun dari langit, tetapi membutuhkan kemauan dan keteguhan hati. Terkadang pujian dari orang lain untuk apa yang sudah kita lakukan tidak lagi menjadi penting, karena bukan itu esensinya. Menurut saya justru titik pandangnya adalah apakah tindakan kita berdampak bagi perbaikan diri sendiri dan orang lain. Seringkali saya terlalu sibuk membuat “pencitraan” positif atas tindakan saya, sehingga lupa untuk menggali intisarinya, sibuk mencari pujian dan pengakuan dari orang lain, tetapi lupa yang utama. Kalau dalam pekerjaan kita bisa melakukan “kaizen”, sebenarnya terhadap diri sendiri tidak ada alasan untuk tidak melakukannya. Yang dibutuhkan hanya kemauan dan kesadaran diri, juga pemahaman bahwa kita sedang berada dalam sebuah lintasan yang akan kita akhiri suatu saat. Harapannya ketika kita masuk ke garis finish, Dia Sang Pencipta akan menyambut kita dengan suka cita, dan menyebut kita “hamba yang baik”. Tidak perlu pemikiran rumit untuk melakukannya, karena “kaizen” memang tidak rumit. Yang diperlukan hanyalah perbaikan kecil yang terus menerus. Perbaikan kecil atas diri kita yang tanpa kita sadari mungkin akan berdampak besar bagi orang lain. Bagaimana menurut anda?