Semilir angin dingin sehabis hujan menerpa muka saya yang sedang berjalan ringan bersama keponakan di depan Surabaya Plaza Hotel. Ini adalah malam kedua saya di kota Pahlawan dan saya sengaja menghabiskannya bersama keluarga. Paling tidak ini adalah cara saya meninggalkan rutinitas kerja yang menuntut saya mempersiapkan presentasi dan googling bahan-bahan dari internet untuk melengkapinya. Jalan-jalan dan berburu kuliner adalah cara paling nikmat untuk membebaskan pikiran dan mencari ide-ide baru. Sebagai seseorang yang tertarik dengan hal-hal inspirasional dan motivational, sensitivitas saya bergerak cepat ketika keponakan mengajukan pertanyaan menggelitik seperti ini,” Tante, apakah anak pertama itu jadi percobaan? Buktinya aku disuruh bapak ibu untuk sekolah S1, tapi adikku dibebaskan, terserah dia. Berarti aku dibuat percobaan dong?”. Saya terdiam sesaat memikirkan jawabannya sebelum berbicara, “Bukan percobaan, tetapi anak pertama itu diharapkan menjadi contoh bagi adik-adiknya. Makanya kamu harus kuliah. Masak anak sekarang nggak kuliah.” “Tapi tante, itu kan namanya coba-coba.” “Enggak lah, itu karena bapak ibu tahu kamu mampu dan percaya padamu, sedangkan adikmu belum tentu. Bisa jadi selama ini nilai SMU-nya tidak bagus, sehingga mereka mempertimbangkan untuk memberi kebebasan.” Jawab saya panjang lebar. Kadang-kadang bingung juga mencari bahasa yang tepat untuk pemuda yang beranjak dewasa. Keponakan saya terdiam, lalu berkata, “Iya sih, bisa jadi..” Sejenak perbincangan kami terhenti karena kami melaju di jalanan Surabaya dengan motornya yang cepat. Keponakan saya melanjutkan lagi pertanyaaanya sambil kami berkendara,”Tante, aku tuh pengen seperti Bapak, Bude, Tante, yang rajin belajar sampai malam-malam. Kok bisa sih semangat seperti itu. Aku kok nggak ada motivasi, padahal pengen juga. Jadinya malas... Gimana caranya biar termotivasi.” Saya terdiam lagi menyusun kata-kata. Memotivasi orang adalah hal biasa yang sering saya lakukan, tetapi memotivasi keponakan yang berusia di awal 20-an rasanya perlu memeras otak mencari bahasa yang tepat. Saya mulai dengan kalimat seperti ini, “ Motivasi berasal dari dalam hati, jadi diri kita sendiri yang menentukan apakah akan termotivasi atau tidak.” Sampai di sini saya berhenti sejenak menunggu responnya dan melanjutkan, “Motivasi tidak akan muncul kalau kita tidak memiliki tujuan. Yang terpenting adalah tujuan. Tanpa ada tujuan, tidak akan ada motivasi. Contohnya Tante Rum, termotivasi mengerjakan tesis karena ingin cepat selesai kuliah. Makanya tante Rum mengerjakannya dengan penuh semangat. Bapak kamu pasti juga punya tujuan yang jelas. Jadi hal pertama yang harus kamu miliki adalah “tujuan yang jelas”. Tanpa itu jangan harap kamu termotivasi. Jadi tetapkan dulu tujuan kamu. Kalau sudah ada, motivasi akan muncul sendiri.” jelas saya panjang lebar. Kali ini keponakan saya tampak bersemangat dan berkata,”Wah, benar juga Tante, mungkin karena aku nggak ada tujuannya..” “Oke, kalau begitu sekarang dimulai dengan menetapkan apa tujuan kamu,” jawab saya. Obrolan kami terhenti karena lama-lama tidak nyaman juga berbincang di jalan raya, apalagi kalau pas lampu merah dan kami harus berhenti. Mungkin karena menggunakan helm kami berbicara setengah berteriak dan membuat pengendara motor lain menoleh ke arah kami.
Percakapan saya dengan keponakan malam itu ternyata menginspirasi dan mengingatkan saya lagi mengenai prinsip dasar motivasi yaitu adanya tujuan yang jelas. Tanpa ada tujuan jelas, mau dimotivasi seperti apapun orang tidak akan bergerak, karena memang tidak ada tujuan yang akan dicapai. Jadi sebenarnya inti dari motivasi adalah membantu orang menemukan tujuan hidupnya dan apa yang ingin dicapai. Motivasi bukanlah teriakan-teriakan pembangkit semangat, meloncat, berlari, dan sebagainya. Bagi saya semua itu hanya sampingan dan alat yang digunakan. Orang bisa berteriak-teriak memompa semangat, tetapi kalau dia tidak punya tujuan, maka itu akan berhenti di situ saja tanpa aksi yang pasti.
Tujuan sering disebut dengan “goal” atau “dream”. Film Sang Pemimpi memberi saya pencerahan dalam hal ini. Impian yang dimiliki seorang pemuda bernama Ikal dan yang diberi energi tiada henti membawanya ke tingkat lebih tinggi yang akhirnya merubah hidupnya. Impian, tujuan yang jelas, adalah bara yang terus menerus membakar hati seseorang untuk tabah berjuang. Tujuan yang jelas harus dilengkapi dengan keyakinan akan tujuan tersebut. Apabila kita tidak memiliki keyakinan diri yang cukup, maka kitapun tidak akan sampai ke tujuan karena selalu bimbang dan ragu. Saya pernah mengalami masa ketika saya merasa tidak yakin akan tujuan saya menjadi trainer. Akibatnya langkah saya ke sana menjadi lambat dan tidak ada greget karena saya tidak cukup percaya diri bahwa tujuan saya akan berhasil. Hanya satu hal yang diperlukan dalam kondisi seperti itu, mereview ulang tujuan tersebut, merenungkannya, dan mencari jawaban paling jujur dalam hati kita apa yang kita impikan dalam hidup ini. Jawaban saya terhenti pada keinginan untuk menginspirasi orang lain menemukan tujuan hidupnya melalui pengajaran maupun tulisan yang saya buat. Impian ini saya pupuk dan saya semai lagi agar tidak menjadi padam sampai akhirnya saya benar-bernar pindah kerja dan menjadi seorang trainer.
Saya kembali merenung malam ini. Pertanyaan sang keponakan ternyata berdampak dan menginspirasi saya menuliskan catatan ini. Tiga minggu di tempat baru telah menyita waktu saya siang dan malam untuk menyelesaikan modul pelatihan yang nantinya akan menjadi pegangan bagi pelatihan negosiasi di tempat kami. Saya termotivasi memberikan yang terbaik, dan berharap itu menjadi karya saya yang pertama di tempat baru, sehingga saya mencurahkan seluruh waktu dan tenaga untuk menyelesaikannya. Akibatnya produktivitas saya dalam menulis menjadi turun karena waktu yang ada saya gunakan untuk menyelesaikan tugas kantor. Pertanyaan menggelitik dari keponakan telah menyentil saya untuk menulis lagi dan mengingat ulang pesan seorang Penulis “jangan malas.” Ah, sebenarnya bukan karena malas, tetapi karena saya ingin memberikan yang terbaik untuk modul tersebut sehingga saya seperti enggan beralih ke kegiatan lain. Tetapi ternyata hal itu mengusik hati saya agar segera menggerakkan tangan menulis cerita-cerita baru. Yup,saya akan terus menulis karena ternyata itu adalah panggilan hati yang tidak bisa dibendung. Saya teringat pertanyaan sang keponakan, “Saya pengen seperti Bapak, Bude, Tante yang rajin belajar. Tapi kok tidak termotivasi ya....” dan kemudian jawaban saya ““Motivasi tidak akan muncul kalau kita tidak memiliki tujuan. Yang terpenting adalah tujuan.” Ah, saya bersyukur, jawaban yang saya berikan mengingatkan saya lagi akan tujuan yang ingin saya capai dalam hidup ini. Memang benar, ketika kita memotivasi seseorang, sebenarnya kita juga sedang memotivasi diri sendiri. Sekarang, saya sangat termotivasi dan tergerak oleh tujuan saya, bagaimana dengan anda?