Pepatah mengatakan rumput tetangga selalu lebih hijau, artinya bahwa kita selalu melihat orang lain memiliki hal-hal yang lebih baik dari kita sehingga membuat apa yang kita miliki menjadi tidak berharga. Apakah benar seperti itu? Bisa ya, bisa tidak. Bisa jadi rumput tetangga memang lebih hijau, atau bisa jadi hanya “tampak” lebih hjau padahal tidak sama sekali. Sesuatu yang menipu, karena cara berpikir kita sudah ditutup oleh pandangan bahwa apa yang ada pada orang lain selalu lebih dari apa yang ada pada kita. Sikap seperti itu membuat kita menjadi tidak pernah puas, merasa inferior, dan tidak menikmati apa yang ada pada diri kita, sesuatu yang kalau dibiarkan terus menerus akan berujung pada kondisi kecewa, penyangkalan diri, dan ketidakmampuan untuk bersyukur.
Kalau bicara “rumput tetangga yang lebih hijau”, teman-teman pria biasanya akan bercanda dengan mengatakan bahwa istri orang lain terlihat lebih cantik, lebih hebat, lebih pintar, tidak seperti istri sendiri yang memiliki banyak kekurangan. Saya sering tersenyum mendengar candaan mereka, karena dalam pemikiran saya, jangan-jangan istri mereka pun saat ini sedang berpikir yang sama, bahwa suami-suami orang lain itu lebih ganteng, lebih macho, lebih kaya, lebih hebat daripada suami mereka. Nah, kalau benar seperti itu, jelas tidak akan ada habisnya, karena masing-masing melihat milik orang lain. Tetapi saya masih percaya bahwa itu hanya bercandaan saja , bahwa mereka adalah suami-suami dan istri-istri yang setia, dan mau menerima apapun keadaan pasangannya. Namanya saja sudah memilih untuk bersama selamanya, saat suka dan duka, bukan saat suka dan suka. Paling tidak itulah yang saya dengar setiap kali mengikuti sakramen pemberkatan nikah di gereja, bahwa masing-masing pasangan berikrar setia dalam suka dan duka, sampai maut memisahkan mereka.
Saya mencoba memahami pepatah “rumput tetangga lebih hijau” dengan analogi yang lain. Sebagai seseorang yang sering bepergian ke luar kota dan menginap di hotel, seringkali saya dibuat bosan dengan menu sarapan pagi yang ada. Kalau saya menginap selama 1 minggu, praktis selama 7 hari saya akan dibombardir dengan menu sarapan pagi yang hampir sama setiap hari. Saat pertama biasanya saya akan sangat menikmati, tetapi memasuki hari keempat dan seterusnya, saya tidak terlalu tertarik lagi. Paling banter hanya makan roti, buah ,serta minum jus. Yang terbayang justru enaknya nasi uduk seharga tiga ribu rupiah atau jus buatan sendiri yang rasanya mantap dan menyegarkan di rumah. Padahal kalau dipikir-pikir tidak ada yang kurang dengan menu sarapan paginya, bahkan sangat komplit. Tetapi sekomplit apapun hidangan yang tersedia, ternyata saya masih menyimpan kerinduan untuk makanan sederhana yang biasa saya makan. Bukan berarti saya tidak suka sarapan di hotel karena kalau ditanya mana yang lebih enak, bagi saya semuanya enak, karena saya menikmati setiap detik sarapan pagi yang tersedia. Jadi apakah makanan di hotel seumpama rumput tetangga yang lebih hijau bagi saya? Bisa ya, bisa tidak, karena ternyata saya pun sangat menikmati sarapan nasi uduk dan segelas jus yang menjadi kebiasaan saya sehari-hari.
Lain lagi cerita teman yang menginap beberapa hari di hotel bintang 5 untuk keperluan training dan harus berdiam sampai malam karena materi training yang sangat padat. Akibatnya selama berhari-hari teman saya menyantap hidangan hotel bintang 5 yang mestinya sangat sehat dan lezat. Tetapi memasuki hari kesekian, teman saya memilih tidak makan di hotel tetapi jajan di pinggiran jalan di kaki lima dan menyantap nasi goreng. Sepertinya tidak masuk akal, sudah disediakan hidangan di hotel bintang 5, tetapi masih juga jajan di pinggir jalan. Lalu apa jawaban teman saya, “Bosan, pengen sesuatu yang lain.” Nasi goreng pinggir jalan bisa jadi adalah “rumput tetangga lebih hijau” bagi teman saya saat itu yang kebetulan sedang menginap di hotel bintang 5. Tetapi bagi orang yang terbiasa makan di pinggir jalan, hidangan hotel bintang 5 adalah “rumput tetangga lebih hijau” bagi mereka. Ternyata “sang rumput tetangga” menjadi sangat relatif, tergantung siapa yang melihatnya. Dalam kasus teman saya, dia sangat menikmati jajanan kaki lima, padahal secara logika hidangan hotel jelas lebih mewah, sesuatu yang bisa jadi merupakan “rumput tetangga” bagi orang yang selalu makan di pinggir jalan.
Contoh-contoh tersebut menyakinkan saya bahwa “rumput tetangga” hanya tergantung pada cara pandang kita. Jadi kalau kita berpikir rumput tetangga lebih hijau, sebaiknya mulai untuk mencuci otak kita sekarang juga. Kenapa? Karena kebenarannya sangat relatif. Apapun yang kita miliki, bisa menjadi rumput tetangga bagi orang lain. Sehingga yang terpenting bukan lagi apa yang kita miliki, tetapi bagaimana kita menikmati apa yang kita miliki. Bukan mengenai apa yang ada di depan kita, tetapi apakah kita bisa dengan penuh suka cita menikmatinya dan bersyukur untuk apa yang kita miliki saat ini. Hati yang ikhlas dan dipenuhi syukur, akan mampu mengusir “rumput tetangga yang lebih hijau” karena apa yang kita miliki pun sebenarnya adalah rumput tetangga bagi orang lain. Kalau mereka melihat apa yang kita miliki lebih daripada yang mereka miliki, bagaimana kita bisa iri kepada orang lain yang menganggap kita memiliki lebih banyak dan lebih baik dari mereka? Semua hanyalah masalah sudut pandang dan suasana hati saja!
Ungkapan “rumput tetangga lebih hijau” kembali menyusup di hati saya ketika saya bergabung di grup bbm teman-teman kuliah kedokteran yang sekarang sudah menjadi “orang”, bukan berarti dulu mereka bukan orang, tetapi artinya “sudah mapan.” Ada spesialis penyakit dalam, bedah, kandungan dan kebidanan, anak, syaraf, mata, paru, kulit, radiologi, dan beberapa spesialis lainnya. Lengkap. Bisa juga tuh kalau mau mendirikan rumah sakit, tinggal menyiapkan modalnya saja. Hehehe. Wah hebat juga, tidak menyangka teman-teman kuliah dulu sekarang sudah mantap dan sukses dengan pilihannya. Mendadak saya melihat “rumput tetangga lebih hijau” pada diri mereka. Kenapa? Karena saya melihat diri saya! Dokter yang tidak mau menjadi dokter, menyia-nyiakan 7 tahun masa pendidikan yang penuh penderitaan (hehehe), kemudian menyeberang ke dunia manajemen dengan mempelajari human resources yang sekarang ditekuni. Sepertinya saya melangkah berbalik arah dan tidak menjadi seperti teman-teman saya yang sekarang menjadi spesialis. Ego saya mengatakan bahwa bukan berarti saya tidak bisa, tetapi karena memang saya memilih untuk menjadi seperti apa saya sekarang. Tetapi kenapa saya melihat mereka adalah “rumput tetangga yang lebih hijau”? Karena saya belum mau berdamai dengan diri saya sendiri dan terjebak dalam ego yang berkepanjangan dan tidak ada manfaatnya sama sekali. Bukankah jalan yang saya tempuh saat ini adalah pilihan saya? Setiap pilihan yang diambil harus diiringi dengan tanggung jawab untuk menerima resiko yang ada. Jadi saya tidak perlu merasa bahwa rumput yang saya miliki saat ini terlalu kuning dan kering sehingga saya harus menengok rumput tetangga yang menurut pandangan saya lebih segar padahal itu bukan pilihan saya. Berlatih untuk menikmati apa yang saya miliki. Sama seperti teman saya yang makan di kaki lima dengan rasa nikmat, mengesampingkan hidangan hotel bintang 5 yang bisa jadi adalah rumput tetangga bagi orang lain.
Jadi sebenarnya “rumput tetangga lebih hijau” adalah sah-sah saja, tetapi bukan untuk membuat kita ingin memiliki rumput tersebut, karena rumput yang kita miliki tidak kalah hijaunya. Terkadang kita tidak bisa melihat karena pikiran kita sudah disilaukan oleh “hijaunya rumput tetangga”, entah benar-benar hijau atau hanya sebuah ilusi. Karena itu bagi saya yang terpenting adalah menikmati dan mensyukuri apa yang kita miliki saat ini. Kalaupun Tuhan belum memberikan sesuatu yang lebih, tentu ada maksudnya. Jangan-jangan Tuhan sedang menyelidiki hati kita, sanggupkah kita diberi tanggung jawab yang lebih besar? Karena semakin banyak yang Tuhan berikan, semakin tinggi juga tanggung jawab yang kita kembalikan kepaaNya. Jadi? Bersyukurkah untuk “rumput” yang anda miliki saat ini, karena rumput yang ada tersebut adalah yang terbaik untuk anda. Hanya butuh sentuhan tangan yang sepenuh hati untuk menyirami dan menyiangi, agar rumput tersebut menjadi lebih hijau dan bersinar-sinar, mengalahkan rumput tetangga yang hijaunya terkadang hanya ilusi. Selamat menikmati rumput anda masing-masing dan bersyukur untuk apa yang anda miliki!